Ketika “Hantu” Golput Gentayangan Jelang Coblosan

Oleh : A Adib Hambali (*

GOLONGAN putih atau yang disingkat golput adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda terhadap pelaksanaan Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Orde Baru.

Pesertanya 10 partai politik, jauh lebih sedikit dibandong Pemilu 1955, diikuti 172 partai politik.

Tokoh terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman. Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta pemilu pada mereka yang datang ke bilik suara.

Kala itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), karena akan ditandai. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.(Wikipedia)

Dalam sejarah golput pernah menjadi kekuatan politik yang menakutkan penguasa.
Tujuan dari gerakan ini pada waktu itu sebagai bentuk protes kaum terpelajar (pemuda dan mahasiswa) atas dominasi ABRI (TNI) dalam menentukan arah bangsa. Pemilu dipandang hanya sebagai alat legitimasi semata.

Tentu saja gerakan ini memantik reaksi para pejabat negara kala itu, mulai dari Pangkopkantib sampai Adam Malik mengatakan golput adalah “golongan setan.”

48 tahun kemudian, golput kembali menjadi “hantu” yang menakutkan saat ini. Berbagai statmen dari para petinggi negara dan parpol pun bersautan, bahkan ada yang mengancam akan mempidanakan pelaku golput ini.

Tak cukup sampai di situ, semua pihak pun mengerahkan pendukungnya untuk mengecam golput, mulai dari Grup Band Slank sampai mantan Presiden Megawati. Bahkan ada yang mau mengusir pelaku golput ini dari Tanah Air.

Sebenarnya, jika dilihat statistik golput dalam pemilu pascareformasi 98, kecuali Pemilu 1999, angka golput selalu berkisaran di atas 20%. Faktor golput tentu saja beragam penyebabnya, mulai dari masalah teknis, apatis sampai yang bersifat politis.

Terkait masalah teknis,
target tingkat partisipasi pemilih yang dipatok oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pemerintah sebesar 77.5 persen masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama.

Pasalnya, berdasarkan hasil survei Sindikasi Pemilu Dan Demokrasi (SPD) bersama Founding Fathers House (FFH) menunjukkan masih minim pengetahuan pemilih soal kapan tepatnya hajat demokrasi 2019 itu secara tanggal dan bulan pelaksanaan.

Begitu juga dengan sejumlah elemen teknis pendukung pada pelaksanaan Pemilu 17 April 2019.

Umumnya, pengetahuan pemilih soal elemen teknis tidak menggembirakan. Ini menjadi catatan serius menjelang pelaksanaan Pemilu 2019,” kata Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH), Dian Permata dalam Diskusi Catatan Kritis Pemilu 2019: Proyeksi, Partisipasi, dan Potret Pengetahuan Pemilih di Jakarta, Minggu, (07/04/2019).

Dari temuan riset FFH dan SPD diketahui, 94 persen pemilih sudah mengetahui pelaksanaan Pemilu. Dari 94 persen itu, hanya 57 persen yang dapat menyebutkan secara tepat tanggal dan pelaksanaannya.
Padahal, tanggal 17 April 2019 sebagai tanggal pelaksanaan sudah mulai disosialisasikan sejak 25 April 2017.

Begitu pula saat responden ditanya dengan teknik pertanyaan terbuka tentang warna surat yang digunakan. Hanya 9.5 persen dari 1.200 responden yang tahu surat suara warna Hijau digunakan untuk pemilihan DPRD Kabupaten/Kota. 8.25 persen surat suara warna Biru digunakan untuk pemilihan DPRD Provinsi, 10.08 persen surat suara warna Kuning digunakan untuk pemilihan DPR RI, 6.08 persen suara warna Merah digunakan untuk pemilihan DPD RI, dan 19.25 persen yang tahu bahwa surat suara warna Abu-Abu digunakan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Berbagai lembaga survei telah merilis kemenangan bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf. Namun angka elektabilitas belum menyentuh titik aman elektabilitas (60%). Secara politis bisa berpengaruh jika jumlah golput bertambah banyak.

Sisi lain, sejumlah kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dipelopori YLBHI, LBH Jakarta mendeklerasikan golput. Padahal pada Pemilu 2014 lalu, walapun secara organisasi LSM tersebut tidak menyatakan dukungan terhadap Jokowi, tapi tokoh mereka hampir semuanya berdiri di belakang Jokowi.

Tentu saja, deklarasi golput tersebut sangat mengkhawatirkan akan disambut oleh masyarakat yang apatis, sehingga menyebabkan angka golput membengkak.

*) Penulis, redaktur senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *