Dana Rp 3,03 Triliun Milik Pemkab Bojonegoro “Ngendon” di Bank

Oleh : A Adib Hambali *

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati kesal, sebab dana pemerintah daerah (Pemda) mengendap di bank. Nilainya mencapai sekitar Rp 200 triliun pada Mei 2022. Sementara pada posisi April tahun 2022, dana mengendap mencapai Rp 191,57 triliun.

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Agus Fatoni merinci, untuk kabupaten, dana yang mengendap terbesar yaitu Kabupaten Bojonegoro Rp 3,03 triliun, Kabupaten Bengkalis Rp 1,19 triliun, Kabupaten Kutai Timur Rp 1,128 triliun, Kabupaten Mimika Rp 1,12 triliun, dan Kabupaten Bekasi Rp 1,02 triliun.

Sri Mulyani pun jengkel, menampakkan kekesalannya kepada Pemda lantaran belanja modal terlampau lelet. Dia bahkan melontarkan kata “ironis”, karena Pemerintah Pusat selalu melakukan transfer ke daerah namun realisasi belanja modal daerah justru minim. Alih-alih merealisasikan belanja, Pemda lebih suka menaruh uangnya di bank. Kekesalan itu ia utarakan saat memberikan arahan kepada Gubernur/Walikota di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (Kontan.com, 16/6/2022).

“Bukan karena enggak ada uangnya, transfer kami ke daerah itu rutin. Memang ada beberapa persyaratan, tapi tetap daerah sekarang itu masih punya Rp 200 triliun di bank. Jadi ini, kan, menggambarkan ada ironis. Ada resources, ada dananya, tapi enggak bisa dijalankan,” kata Sri Mulyani.

Pertanyaannya, dana disimpan di bank untuk apa? Dan, mau sampai kapan dana Rp 3,03 triliun itu diendapkan begitu saja?

“Padahal, di hadapan Pemda masih mengemuka fakta masalah tentang kemiskinan hingga kemiskinan ekstrim, masalah stunting, masalah anak putus sekolah, hingga belum terpenuhinya infrastruktur dasar,”kata Ketua MPR RI Bambang Soesatyo di Jakarta, Jumat (24/6/2022).

Ketua Tim Penggerak PKK Arumi Bachsin Emil Dardak membeberkan bahwa Bojonegoro merupakan satu dari empat kabupaten di Jatim dengan angka stunting (kekurangan gizi kronis) dan kematian ibu-anak yang masih tinggi.(detakpos.com,15 Maret 2022).

Sebut saja angka Kematian Ibu (AKI) di Bojonegoro pada tahun 2020 tertinggi di Jawa Timur, mencapai sebanyak 61 orang. Kemudian Kota Surabaya (28), Kabupaten Tuban (25), Kabupaten Mojokerto (24), Kabupateb Pasuruan (23), Kabupaten Bondowoso (22), Kabupaten Probolinggo (20), Kab. Madiun (19), Kabupaten . Tulungagung (19) dan Kab. Pamekasan (19).(Detakpos.com, 4 Februari 2021).

Berdasarkan data LKB Kab/Kota 2020, juga terdapat 10 kabupaten/kota dengan Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi, yaitu Kabupaten Jember sebanyak 324, Kota Surabaya (208), Kab. Bondowoso (168), Kab. Kediri (162), Kab. Lumajang (154), Kab. Probolinggo (147), Kab. Tulungagung (146), Kab. Situbondo (140), Kab. Bojonegoro (138) dan Kab. Jombang (137).(detakpos.com/ 4 Februari 2021).

Dari Profil Kesehatan Jawa Timur, 2019, AKI di Kabupaten Bojonegoro masih sangat tinggi. Tahun 2019 mencapai 149.66 Per 1.000 Kelahiran Hidup, menempati peringkat tertinggi No. 2 di Provinsi Jawa Timur

Catatan Poverty Resource Center Initiave (PRCI), tingginya kasus kematian ibu di Bojonegoro di antaranya disebabkan kurangnya pemeriksaan selama kehamilan, adanya penyakit penyerta pada ibu hamil, seperti hipertensi, diabetes, dan bisa jadi juga karena adanya keterlambatan rujukan.

Pada tahun 2019 dilaporkan ada 26 kasus kematian ibu di Bojonegoro atau sekitar 149.66 Per 1000 kelahiran hidup’ Tingginya angka kematian ibu dan bayi ini sangat berkaitan dengan jumlah penduduk miskin di Bojonegoro ‘

Data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di daerah industri migas inipada tahun 2019 sebanyak 170,80 ribu, tahun 2020 meningkat 187,13 ribu dan 2022 terus naik menjadi 192,58 ribu.

Artinya, kemiskinan ini memiliki korelasi dengan angka kematian ibu dan bayi. Karena miskin ibu hamil tidak mampu memeriksakan kehamilan, tidak mampu membeli obat dan tidak mampu memakan makanan bergizi.

Rangkaian fakta masalah itu tidak sulit-sulit amat untuk segera ditangani dan diselesaikan. Sumber daya yang tersedia di daerah lini ebih dari memadai. Setiap tahun, selalu ada update data tentang kemiskinan, stunting, anak putus sekolah, termasuk informasi persoalan tentang minimnya infrastruktur dasar di banyak desa. Masalahnya, adakah kepedulian aparatur pemerintah daerah terhadap rangkaian fakta masalah tersebut?

Pembangunan yang berkelanjutan memang telah membawa kemajuan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Namun, harus pula diakui bahwa proses pembangunan itu belum menyentuh semua warga. Sebab, masih ada fakta tentang kemiskinan hingga kemiskinan ekstrim. Juga masalah balita yang gagal tumbuh ideal akibat kekurangan gizi kronis (stunting).(**)

*Redaktur senior Detakpos.com di Bojonegoro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *