Ketika Wamena Membara

Oleh : A Adib Hambali (*

SEBANYAK tiga kloter warga perantau asal Jawa Timur di Wamena, Papua, kembali pulang ke kampung halaman. Rombongan pertama datang melalui Semarang sejumlah 43 orang. Kemudian, Rabu (2/10/2019), melalui Malang 121 orang, dan dijuga melalui bandara Juanda 41 orang.

Kamis (3/10/2019) datang lagi sekitar 130 orang,. “Kami menyampaikan terimakasih kepada TNI AU yang telah membantu memudahkan kepulangan warga Jatim yang sedang merantau di Wamena,” tutur Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.(Detakpos,2/10/2019).

Sebagai informasi, kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua, beberapa waktu lalu menyebabkan 32 jiwa meninggal dunia, 9.240 jiwa mengungsi, 77 jiwa mengalami luka-luka, 224 mobil terbakar, 150 motor terbakar, 165 rumah rusak karena terbakar, 20 unit perkantoran rusak, 456 unit tempat usaha warga rusak.

Selain itu, Sebaran pengungsi sebanyak 8.617 jiwa berada di Wamena tersebar di 25 posko, sementara 523 jiwa mengungsi di lima titik lokasi di Jayapura.
(Detakpos, Jumat,4/10).

Informasi tersebut menegaskan ada gejolak di Wamena, menyebabkan para perantau lebih memilih kembali ke kampung halaman yang sudah ditinggalkan selama puluhan tahun.

Pemantik aksi kerusuhan Papua disulut dari pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan insiden di sejumlah daerah di Malang dan Semarang. Aksi balasan demo besar besaran terjadi di Papua dan Papua Barat pada 16 Agustus 2019, dan terus meluas.

Ibu Kota Baru

Di Jakarta, pada kesempatan menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT ke-74 Kemerdekaan RI Tahun 2019, di hadapan sidang bersama DPR RI dan DPD RI, Jumat (16/8), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan permohonan izin untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta.

“Dengan memohon ridho Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan,” kata Presiden Jokowi.(Detakpos, 16/8/2019).

Hampir bersamaan waktu insiden rusuh Papua yang anarkis, dengan pengumuman rencana pindah Ibu Kota RI.

Sejumlah analis dan pengamat menarik benang merah antara pindah ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan dikaitkan dengan skenario besar dari persaingan dagang Amerika dengan  China.

Kemungkinan prediksi, Kalimantan mempunyai peran penting dan posisi strategis bagi program OBOR (One Belt One Road/ Satu Sabuk dan Satu Jalan) sebagai pintu masuk China untuk menancapkan hegemoni ekonomi lebih dalam di kawasan Asia.

Kalimantan secara geografis juga sangat dekat dengan China, sehingga sangat seksi di mata negeri Tirai Bambu itu.

Terbaca AS

Perpindahan ibu kota ini kemunglinan dibaca oleh AS dan sekutunya bahwa Kalimantan menjadi pintu masuk program OBOR China.

Maka Papua pun kemungkinan menjadi pintu masuk program TPP (Trans Pasific Partnership) Amerika dan sekutunya untuk membendung hegemoni dagang China di Asia-Pasific.

Papua sejak masa perang dunia pertama dan kedua sudah memiliki arti penting. Bahkan secara kebijakan pertahanan, sudah menjalanka konsep US INDOPACOM, yaitu membentuk border aliansi segitiga India-Australia-Jepang untuk menghadapi China.

Jadi, perpindahan Ibu Kota ke Kalimantan ini sangat berdampak besar pada masa depan Indonesia di antara jepitan dua kekuatan  besar (raksasa dunia) di bidang ekonomi dan dagang.

Sejumlah pengamat pun melihat skenario memainkan upaya tandingan di Papua untuk memecah konsentrasi, menghambat rencana perpindahan Ibu Kota ke Kalimantan.

Ada kemungkinan pihak Istana paham betul, sehingga berhati-hati menghadapi manuver propaganda di Papua yang massive dan terencana ini.

Makanya jangan heran jika aparat, khususnya Polri, seperti gagap menghadapi situasi ini. Bayangkan hanya dalam hitungan menit dan jam, rusuh anarkisme Papua begitu cepat meluas, massive hanya karena ketersinggungan pernyataan yang beredar di medsos saja.

Padahal kalau dilihat  perbandingan kekuatan TNI-Polri dengan perusuh Papua tidak sebanding.Tapi yang terjadi sebaliknya. Korban nyawa dan pembakaran pun merebak terjadi di Papua,Sorong, Manokrawi, Fak Fak, Wamena, Jayapura.

Sudah jelas rusuh dan tuntutannya merdeka, Menkopolhukam Wiranto meminta aparat persuasif tanpa senjata. Apa yang terjadi kemudian, aparat tak bersenjata menghadapi perusuh pakai senjata parang, panah dan tombak.

Seharusnya, Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menjadi peluang bargainning yang paling menguntungkan dari tarik menarik dua kepentingan dagang raksasa dunia ini.

Ketika sudah berbicara kedaulatan, pemerintah mesti berani dan tegas bersikap dan menyatakan bahwa aksi dan rusuh itu adalah tindakan makar dan saparatisme.

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia perlu memperlihatkan wibawa sebagai sebuah bangsa yang besar dan terhormat. Caranya. Serahkan penanganan separatis kepada TNI. Begitu pendapat pengamat.

*)Redaktur senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *