KPK Beri Satu Bukti Lagi

Oleh : A Adib Hambali

ADIGIUM “hukum tajam ke bawah tumpul ke atas” sering sekali kita dengar.

Namun dengan dukungan publik yang kuat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya terus menjalankan tugas memberantas korupsi di Tanah Air tanpa pilih kasih.

Mau bukti, KPK kini menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga 2014-2019,  Imam Nahrawi sebagai tersangka dalam dugaan suap penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora pada KONI Tahun Anggaran 2018.

Dana hibah dari Kemenpora untuk KONI yang dialokasikan sebesar Rp 17,9 miliar. Dalam perkara tersebut, diduga KONI pada tahap awal mengajukan proposal kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk mendapatkan dana hibah tersebut. Pengajuan dan penyaluran dana hibah diduga sebagai akal-akalan dan tidak didasari kondisi yang sebenarnya. Sebelum proposal diajukan, diduga telah ada kesepakatan antara pihak Kemenpora dan KONI untuk mengalokasikan fee sebesar 19.13% dari total dana hibah Rp17,9 miliar, yaitu Rp 3,4 miliar.

Dalam rentang 2014 – 2018, sebagai  Menpora melalui asisten pribadi Menpora diduga telah menerima uang sejumlah Rp14,7 miliar. Selain penerimaan uang tersebut, dalam rentang waktu 2016-2018, Menpora diduga juga meminta uang total Rp11,8 miliar, hingga dugaan penerimaan Rp26,5 miliar diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora TA 2018, penerimaan terkait Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatanya selaku Menpora.

Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait.

Para tersangka diduga melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Perkara ini berawal dari peristiwa tangkap tangan yang dilakukan KPK pada 18 Desember 2018 terkait dengan penyaluran bantuan dari pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Tahun Anggaran 2018. Dalam kegiatan tangkap tangan tersebut, KPK mengamankan uang tunai di kantor KONI sebesar Rp7,4 miliar dan menetapkan lima orang sebagai tersangka.

Praktik penerimaan suap, gratifikasi yang dianggap suap, dan ketidakpatuhan melaporkan penerimaan gratifikasi oleh para penyelenggara negara sangat mengganggu upaya pemerintah dalam mencapai tujuannya. Kali ini dalam bidang kepemudaan dan olahraga yang sangat krusial mengingat pada tahun 2045 Indonesia akan mengalami bonus demografi.

Jika anggaran-anggaran yang seharusnya digunakan untuk memajukan prestasi atlet dan meningkatkan kapasitas pemuda-pemuda Indonesia malah dikorupsi, dampaknya akan sangat buruk untuk masa depan bangsa. Apalagi kali ini dilakukan oleh pucuk pimpinan teratas dalam sebuah kementerian yang dipercaya mengurus atlet dan pemuda Indonesia. (Humas KPK, 18/9/2019).

Kasus ini menambah daftar panjang jumlah menteri yang terlibat kasus korupsi, yaitu menjadi 28 menteri yang terjerat kasus korupsi.

Adalah Ketua KPK Agus Raharljo mengungkap data di website KPK, lebih dari seribu perkara korupsi sudah ditangani.

Tapi ini bukan hanya soal jumlah orang yang ditangkap dan diproses hingga divonis bersalah melalukan korupsi saja.

Jabatan pelaku korupsi juga terbaca jelas. Pelaku pejabat publik terbanyak adalah para anggota DPR dan DPRD, yaitu 255 perkara. Kemudian Kepala Daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi, ada juga yang dijerat pencucian uang.
Ini baru data sampai Juni 2019. Setelah itu, sejumlah politisi kembali diproses. (
KPK.go.id, 9 September 2019).

Selain anggota DPR, DPRD, Kepala Daerah, sebanyak 27 Menteri dan Kepala Lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II dan III.

Tercatat, Ketua DPR-RI dan Ketua DPD, dan sejumlah menteri aktif yang  melakukan korupsi juga ikut diproses.

Angka-angka di atas tentu bukan sekadar hitungan numerik orang-orang yang pada akhirnya menjadi tersangka hingga dapat disebut koruptor.

Kasus-kasus tersebut tentu juga terkait ratusan proyek pemerintah dan perizinan. Proyek dengan nilai hingga ratusan miliar atau bahkan triliunan rupiah dipotong untuk kepentingan sejumlah pejabat yang mereka sebut commitment fee.

Padahal seharusnya uang rakyat yang menjadi sumber utama anggaran, harus dapat dinikmati secara penuh oleh masyarakat.

Niat baik pemerintah untuk membangun negeri ini diselewengkan para pelaku korupsi.

Apakah ini yang membuat serangan terhadap KPK terus terjadi? Bertubi-tubi. Sekarang ada upaya Revisi UU KPK. DPR bersepakat untuk mengusung Rancangan Undang-undang inisiatif DPR.

“Terkait RUU KPK itu, setelah kami baca, setidaknya 9 pokok materi di sana rentan melumpuhkan KPK,”tutur Agus Raharjo.

Karena itulah, kemarin, “Saya mewakili seluruh insan KPK menegaskan, KPK menolak revisi UU KPK tersebut. Bahkan KPK tidak pernah dilibatkan membahas rancangan yang “secara diam-diam” tiba tiba muncul tersebut.

Namun di samping berbicara tentang data di atas, mungkin perlu melihat ke belakang. Sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu, ketika Orde Baru tumbang, reformasi bergulir dan pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda utama reformasi.

Ada Tap MPR yang mengamanatkan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bahkan KPK disebut secara eksplisit di sana, yaitu:
Tap MPR No. XI/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Tap MPR No.  VIII/MPR/2001 TENTANG Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan  dan Pencegahan KKN.
Pasal 2 angka 6, Tap MPR No. VIII/2001
Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah :

Juga membentuk undang  undang beserta peraturan pelaksanaan untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Apa yang bisa dibaca dari dua Tap MPR tersebut. Sederhana, reformasi menghendaki pemberantasan korupsi yang kuat dan kemudian KPK dibentuk.

Tidak cukup hanya Tap MPR, ada dua Undang-undang penting terkait pemberantasan korupsi yang hadir pascareformasi yaitu UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ada bagian penting di UU Pemberantasan Korupsi yang disahkan tahun 1999 tersebut. Pada Pasal 43 diperintahkan pembentukan KPK. Hingga akhirnya lahirlah UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebuah Undang-undang yang draf pertama disampaikan melalui Surat Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), dan disahkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dari runtut aturan di atas, perlu memahami ihwal kekeliruan berpikir pihak yang mengatakan bahwa KPK hanya dibentuk sementara waktu atau sering digunakan istilah ad hoc.

Sebuah istilah yang keliru bahkan jika ingin mengatakan bahwa KPK bersifat sementara. Karena Ad Hoc justru berarti untuk tujuan tertentu.

Putusan Mahkamah Konstitusi juga menegaskan posisi KPK sebagai lembaga yang bersifat penting bagi konstitusi atau constitutional important.

MK juga menegaskan KPK merupakan turunan dari Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, yaitu Badan-badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman.(Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan MK No. 49/PUU-XI/2013)

Sekarang, apakah berlebihan jika Agus Raharjo menyebut jika ada upaya melumpuhkan KPK itu bentuk pengkhianatan terhadap reformasi.

*) Redaktur Senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *