Lebih Bahaya dari Teroris?

Oleh : A Adib Hambali (*

DANDIM 0812/Lamongan, Jawa Timur, Letkol Inf Sidik Wiyono menginstruksikan personelnya gencar mensosialisasi vaksin Sinovac di wilayah teritorialnya.

Vaksin itu sangat aman bagi tubuh, terlebih daya tahan tubuh terhadap serangan pandemi Covid-19.
Sudah mendapat lisensi dari BPOM, sekaligus sertifikasi halal dari MUI.(Detakpos.com,19/1/21).

Sosialisasi Dandim Lamongan itu perlu ditiru, mengingat survei Worddometer mencatat, hingga 19 Jananuari 2021, kematian seluruh tembus 2. 048.247. Kematian karena Covid-19 per hari juga menanjak ke angka 15 ribu. Rata rata setiap menit di dunia, sekitar 4-5 orang yang meninggal karena virus itu.

Kematian itu bukan sekadar angka statistik. Dengarlah jeritan batin. Rasakanlah pilu itu. Lihatlah air mata. Karena protokol kesehatan, tak jarang, bahkan keluarga dekat melihat pemakaman yang dicintai hanya lewat online. Bahkan hanya bisa melihat foto.

Sisi lain, penemuan vaksin Covid-19 menjadi harapan untuk menyetop penularan. Sayangnya survei menunjukkan di berbagai negara Eropa, prosentase populasi yang bersedia divaksin tidak tinggi.

Di Itali, 40 persen populasi menyatakan tidak bersedia di-vaksin, Spanyol bahkan 50 persen tidak bersedia divaksin.

Di Perancis, 54 persen menyatakan skeptis dengan vaksin. Di Jerman, juga di Inggris yang menyatakan bersedia divaksin di bawah 70 persen.

Di Amerika Serikat, 63 persen bersedia divaksin. Di Indonesia, 2 dari 3 responden (di bawah 70 persen), bersedia divaksin.

Semua data itu menunjukkan hal yang sama. Yang bersedia divaksin masih di bawah prosentase yang dibutuhan untuk herd immunity (kekebalan komunitas).

Namun WHO tidak memilih jalan vaksin sebagai mandatory. Berdasarkan pengalaman, menjadikan vaksin sebagai kewajiban justru melahirkan rebelious spirit. Akan lebih banyak yang menentang.

Demikan Peneliti senior Lingkaran Survei Indobedia (LSI) Denny JA. Dia mengatakan, mereka yang mengkampanyekan anti vaksin di era pandemik, adalah public enemy nomor 1. Mereka lebih bahaya dari para teroris.

“Dengan membaca data, tak ragu saya katakan. Penemuan terbesar dalam sejarah yang paling menyelamatkan nyawa dan kesehatan manusia adalah Vaksin,”tulis Denny JA, (Jum’at, 15/1/21), lewat WAG.

Vaksin lebih dari penemuan ilmiah lain dalam sejarah, telah menyelamatkan paling banyak manusia dari kematian, cacat, kebutaan, dan gagalnya bayi untuk hidup sehat.

Lihatlah penyakit cacar (smallpox). Di abad 20, penyakit ini sudah membunuh sekitar 300-500 juta manusia. Jumlah yang mati karena cacar lebih banyak dari semua perang dunia, ditambah korban terorisme, ditambah bencana alam di era modern.’

Sebanyak 20-50 persen yang terkena cacar akan mati. Yang bertahan hidup, akan mengalami cacat hingga kebutaan. Vaksin membuat cacar tidak lagi berbahaya bagi manusia.

Begitu banyak penyakit yang kini bisa dijinakkan karena datangnya era vaksin. Antara lain, di samping cacar, adalah polio, tetanus, flu, hepatitis B, Hepatitis A, campak, gondokan, dan chickenpox.

Kini telah tiba. Corona Virus 19 segera pula dijinakkan oleh vaksin. Mengapa mereka yang mengkampanyekan anti vaksin bahkan lebih berbahaya dibandingkan teroris?

Dikatakan, vaksinasi atas satu pandemik hanya efektif jika tercipta kekebalan komunitas. Herd Immunity. Hanya dalam kondisi itu, hidup bisa normal kembali. Manusia kembali bebas bergerak kemana saja, jumpa tatap muka, bersalaman, berpelukan.

“Kemungkinan untuk saling menularkan penyakit; kemungkinan penyakit itu kembali menjadi pandemik; semua itu akan sirna hanya jika tercipta kekebalan komunitas,”tutur Denny.

Itu social origin dari lahirnya hukum kekebalan komunitas. Rule of thumb dari kekebalan komunitas itu sekitar 70 persen populasi. Jika sebanyak 70 persen populasi sudah divaksin penyakit tertentu, penyakit itu tak lagi berbahaya. Ia bahkan bisa dianggap lenyap sebagai penyakit menular yang serius.

Tapi Dr. Anthony Stephen Fauci memiliki prosentase berbeda untuk Covid 19. Ia pakar kesehatan yang kini sangat disegani. Fauci menjadi Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases sejak 1984.

Fauci menyatakan, kekebalan komunitas untuk Covid 19 terjadi jika 80-90 persen populasi sudah divaksin. Sebelum prosentase itu tercapai, saling menularkan virus covid 19 masih dalam skala yang tak aman.

“Di sinilah letak problema mengapa kampanye vaksin Covid 19 diperlukan. Termasuk di Indonesia,”ungkap Denny.*)

-Redaktur senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *