Manuver Elite Politik saat Petugas Meregang Nyawa

Oleh: AAdib Hambali (*

GELARAN Pemilu 2019 menyisakan duka mendalam rakyat Indonesia.
Betapa tidak, baru kali ini hajatan pesta demokrasi memakan korban ratusan nyawa manusia.

Mereka adalah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang gugur dalam tugas mengawal pesta demokrasi lima tahunan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis, petugas KPPS yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 berjumlah 230 orang, sakit 1.671 orang, total 1.901 orang,.
(KPU,26/4/2019).

Anggota Polisi meninggal dunia saat bertugas mengamankan Pemilu mecapai 18 orang
Sementara anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin menyampaikan jumlah Panwaslu yang meninggal juga bertambah menjadi 55 orang.

Sikap terbaik adalah mendoakan mereka semoga amal baik mereka diterima Allah SWT, dan mengharap ampunan segala dosa dan kesalahan mereka. Tentu saja sambil melanjutkan tugasnya.

KPU menyatakan masih mengusahakan santunan untuk petugas yang meninggal dunia dan mengalami sakit saat bertugas. Santunan masih dalam kajian Kementerian Keuangan.

Hingga saat ini angka santunan yang diusulkan masih sama, yaitu Rp 36 juta untuk meninggal dunia, Rp30 juta untuk penyandang cacat, dan Rp 16 juta untuk luka-luka.

Harapannya, semua pihak tidak menyia-nyiakan pengorbanan para petugas KPPS yang meninggal. Apalagi dengan cara mendeligitimasi penyelenggara pemilu.

Sangat tidak pantas rasanya kalau pengorbanan yang dilakukan oleh petugas KPPS hingga meregang nyawa menjadi “tumbal” untuk demokrasi Indonesia, oleh elite digunakan bermanuver mengklaim kemenangan, tidak sabar menunggu 22 Mei mendatang saat rekapitulasi hitung manual untuk mengesahkan hasil Pemilu 2019.

Beban Berat
Bentukan pemilu serentak berdasarkan amanat UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam teknis, beban petugas KPPS menjadi sangat berat.

Salah satu penyebabnya berkaitan dengan sistem pemilu, khususnya jadwal pemilu.

Pemilu 2019 berbeda dengan sebelumnya. Masyarakat diberikan lima surat suara sekaligus untuk dicoblos di TPS. Kelimanya yakni surat suara capres-cawapres, caleg DPR, caleg DPRD provinsi, caleg DPRD kabupaten/kota, dan calon DPD.

Berbeda dengan 2014 lalu, ketika pemungutan suara caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan DPD dilaksanakan beberapa bulan terlebih dahulu. Setelah itu, baru pemungutan suara capres-cawapres dilakukan.

Akibat pelaksanaan pemungutan suara yang serentak itu, tugas anggota KPPS menjadi sangat berat. Tugas mereka pun tidak bisa ditunda meski kelelahan telah menyelimuti raga.

Berdasarkan UU tersebut, tugas KPPS adalah melaksanakan pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS pada hari “H”. Itu diatur dalam Pasal 60 butir c. Anggota KPPS maksimal berjumlah 7 orang menurut Pasal 59 ayat (1). Pada situasi ini, sudah ditegaskan bahwa jumlah petugas memang dibatasi.

Kemudian, dalam Peraturan KPU No 9 tahun 2019, KPPS harus menyelesaikan proses penghitungan suara maksimal pukul 12.00 WIB sehari setelah pemungutan suara dilakukan.

Kewajiban itu tidak bisa ditunda. Lelah tidak bisa menjadi alasan keterlambatan proses penghitungan suara.

Sebagai ilustrasi, setiap TPS rata-rata menampung maksimal 300 pemilih. Ada yang kurang dari jumlah tersebut. Namun, andai ada TPS yang menampung 300 pemilih dan semuanya menggunakan hak suara, maka KPPS harus menghitung 1.500 suara dalam waktu 24 jam.
Beban itu sangat berat. Terlebih, KPPS juga tidak bisa menambah anggota untuk menggantikan anggota lain yang telah kelelahan.

Pemilu lima kotak itu di luar batas kemampuan manusia bekerja. KPU juga harusnya juga sudah menghitung beban kerja KPPS ini dengan pemilih yang ternyata masih terlalu banyak per TPS, yang jumlahnya 300.

Ini yang menyebabkan mereka bekerja hingga larut.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan pemungutan dan penghitungan suara serentak ala Pemilu 2019 memang sangat berat bagi KPPS.

Dengan demikian, banyak anggota yang sakit dan meninggal dunia.

Tentu karena faktor kelelahan baik secara fisik maupun psikologis.

Veri lalu menekankan poin lain di samping mekanisme Pemilu 2019 yang begitu rumit karena dilaksanakan secara serentak. Poin itu yakni soal asuransi kesehatan yang tidak diberikan kepada anggota KPPS.

Ketiadaan asuransi kesehatan juga menjadi faktor begitu banyak anggota KPPS yang meninggal dunia. Dia menganggap pemerintah dan DPR, selaku pembuat UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu, tidak memperhatikan hal tersebut.

Mestinya persoalan ini bukan hanya urusan penyelenggara, pemerintah dan DPR dalam mendesain pemilu, mestinya turut berhitung. model pemberian asuransi dan lainnya.

*) Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *