Oleh :Tonny Ade Irawan (*
PlASTIK di era modern ini telah menjadi sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari.
Plastik menjadi sesuatu yang praktis bagi manusia modern. Mulai dari wadah kebutuhan rumah tangga sampai perlengkapan kebutuhan kantor termasuk menjadi tas unutk memudahkan membawa barang.
Namun di tengah keparkatisan dan kemudahan dari bahan plastik yang diolah ternyata plastik telah menjadi ancaman tersendiri bagi bumi.
Konsumsi yang berlebihan dan penggunaan tanpa batas telah membuat dan menjadikan bumi ini mulai tertutupi sampah plastik. Bahkan sebagian mahkluk di bumi ada yang sudah mengkonsumsi plastik.
Yang jelas tulisan ini tidak bersangkutan dengan beras plastik telur plastik dan lain sebagainya yang menjadi hoax di medsos.
Beberapa waktu lalu kita mendengar berita tentang ikan hiu yang mati dan di dalam perutnya penuh sampah plastik. Belum lagi berbagai foto kehidupan binatang yang terlihat memakan plastik ditumpukan sampah. Yang jelas hal itu terjadi tentu karena ketidaktahuan mereka dan mengira plastik adalah makanan.
Tentu saja karena mereka binatang. Meski hiu hidup di tengah laut yang dalam setidaknya kita bisa berpikir bahwa sampah plastik telah mencapai lautan terjauh dan terdalam dan mencemarinya.
Karena kita manusia tentu kita harus berpikir bagaimana menangani sampah plastik yang mulai mengancam kehidupan manusia
Datan yang ada pada 2018 terdapat sekitar 380 juta ton plastik telah diproduksi di seluruh dunia setiap tahun. Dari tahun 1950 hingga tahun 2018, diperkirakan terdapat 6,3 miliar ton plastik telah diproduksi di seluruh dunia, yang diperkirakan 9% telah didaur ulang dan diperkirakan juga 12% lainnya telah dibakar.
Data PBB mencatat setiap tahunnya terdapat 5 triliun kantong plastik yang digunakan di seluruh dunia. Sebanyak 13 juta ton sampah plastik menjadi polusi di lautan. Akibatnya sebanyak 100 ribu hewat di laut terbunuh setiap tahun.
Sementara itu, perlu waktu hingga 100 tahun agar sampah plastik dapat terurai. Waktu yang cukup lama untuk hancur sementara produksi plastik terus bertambah.
Bahkan terbastu sebanyak 187 negara di bumi ii sepakat untuk membuta perdagangan sampah plastik lebih transparan dan diatur dengan lebih baik serta memastikan pengelolaanya lebih aman bagi manusia dan lingkungan. Perjanjian ini sendiri diakaitkan dengan Konvensi basel yang didukung PBB. Di mana negara di dunia harus memantau dan lecak pergerakan sampah plastik di luar perbatasn mereka
Bagaimana dengan Indonesia ?
Tentu saja Indonesia ikut masuk dalam 187 yang sepakat membuat perdagangan global sampah plastik lebih transparan. Bahkan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam hal ini ikut menghadapi ancaman sampah plastik di pertemuan menteri menteri lingkungan G 20 yang dilaksanakan di Kota Karuizawa Prefektur Nagano Jepang 15 -16 Juni lalu menyatakan penanganan sampah adalah mandat UUD 1945 karena setiap warga berhak atas lingkungan hidup yang sehat. (Baca detakpos 16 Juni 2019).
Di acara itu Menteri LHK pamer bahwa telah terbentuk 7 ribu bank sampah di Indonesia. Termasuk tindakan tegas penanganan sampah ilegal. Cukupkah itu ? Tentu saja jawabannya masih kurang dan perlu dorongan lebih intens lagi karena ancaman memang cukup nyata.
Beberap waktu lalu saya pergi ke Bali. Saat itu saya mampir ke gerai makanan cepat saji di kawasan wisata di Bali. Karena terburu buru saya membungkus beberapa paket makanan yang ditawarkan.
Tak lama kemudian pelayanan gerai menyodorkan box karton yang sudah berisi makanana pesanan ke depan saya. Karena cukup banyak dan bingung membawanya saya kemudian bertanya ada tas kresek? Dengan santai sang pelayana menjawab bahwa sudah sejak awal tahun ini tidak ada tas kresek atau tas plastik. Pelayan kemudian menunjuk ke banner stand di sebelah kiri meja kasir dan saya baca kemudian saya maklum.
Masih di Bali… saat saya sedang bersantai di salah satu toko modern waralaba dan duduk di dekat kasir saat itu wisatawan dari Australia membeli barang cukup banyak sehingga dalam terjemahan meminta kepada kasir tas plastik. Si Kasir pun menjelaskan ada peraturan wali kota di Denpasar Bali sejak awal tahun ini tidak memberikan tas plastik. Sebagai gantinya si kasir menawarkan tas seharga Rp 6500 yang ramah lingkungan untuk membawa barang. Dan si turis pun menyetujuinya sambil mengangguk angguk. Hal itupun juga berlaku di beberapa pusat perbelanjaan oleh oleh di Bali.
Meski sudah berlaku namun belum semua di Bali menerapkan aturan tersebut. Buktinya saat saya datang ke pasar untuk membeli barang bungkus yang diberikan masih berupa tas kresek. Meski demikian apa yang dilakukan dan dimulai di Bali sebagai pusat wisata perlu di apresiasi. Tinggal menunggu keberanian kota kota lainnya di Indonesia.
*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Tinggal di Bojonegoro