Merawat Potensi Alam Daerah: Indonesia Pengimpor dan Pengekspor Garam (5)

Sayang sekali, lacakan informasi kearah itu belum pernah ditelusuri.   Fulktuasi Produsi Garam Nusantara Indonesia adalah negara mengimpor  namun sekaligus pengespor garam. 

Data statistik dari KPP Kemenperin, Kemenperindak, dan PPS tahun 2015 menunjukkan bahwa kebutuhan garam nasional pada tahun 2011 sejumlah 3.288 ribu ton, tahun 2012 sebesar .270 ribu ton, tahun 2013 sebanyak 3.573 ribu ton, serta tahun 2014 dibutuhkan 3.611 ribu ton, baik untuk kebutuhan garam konsumsi maupun industri. (*)

Padahal, pada tahun 2011 Indonesia hanya memproduksi 1.113 ribu ton, tahun 2012 sebesar 1.803 ribu ton, tahun 2013 sejumlah 2.027 ribu ton, dan pada tahun 201menhasilkan 2.128 ribu ton. 

Oleh karena itu, dilakukan impor garam sebesar 202 ribu ton garam pada tahun 2011, sebanyak 844 ribu ton tahun 2012, sejumlah 933 ribu ton tahun 2013, dan 577 ribu ton pada tahun 2014. 

Namun demikian, Indonesia juga melakukan ekspor garam, yakni pada tahun 2011 sebesar 1,917 ribu ton, tahun 2012 sebanyak 2.624 ribu ton, tahun 2013 sejumlah 2.849 ribu ton, dan pada tahun 2014 sebesar 2.166 ribu ton. 

Berdasarkan data tersebut, apabila dilokalisir untuk tahun 2014, tergambar bahwa produksi garam nasional tahun 2014 sebesar 2. 502.891,29 ton, dengan penyusutan 25 % = 1.887.168 ton. 

Pada tahun 2014 lalau, impor garam jenis garam konsumsi hanya diperuntukkan bagi garam insustri aneka pangan tertentu sebanyak 280.040 ton. Total impor garam pada tahun 2014 sebanyak 2.251.577 ton. 

Sejauh ini, pertumbuhan garam rata-rata per tahun sebesar 5%, Bagi negara Indonesia, yang nota bene merupakan ‘negara kepulauan (archipelago)’, import garam tentu dirasa sebagai ‘hal yang aneh’. 

Terlebih lagi, Indonesia adalah negara tropis, dimana penguapan air asin (air laut ataupun air asin dari bleduk) dengan terik sinar matahari pada musim kemarau memungkinkan untuk dilangsungkan secara intensif. Pada sisi lain, kebutuhan garam di Indonesia terbilang tinggi. 

Dalam hal kuliner, orang Indonesia dikenal sebagai ‘gemar garam’ – hal inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab tingginya angka penderita sakit ‘darah tinggi’. 

Apabila ditelisik pada masa lampau, terdapat banyak daerah di Indonesia yang justru tampil sebagai ‘produsen garam’. 

Bahkan, pada Masa Hindia-Belanda, produksi garam Nusantara mampu diekspor ke negera-negara lain. Cukup alasan untuk menyatakan bahwa dalam kurun waktu amat panjang Nusantara adalah produsen garam yang mampu mengekspor garam. 

Atau setidaknya pada posisi dapar ‘berswasembada garam’. Bahkan, Masa Hindia-Belanda, khususnya sejak tahun 1882, ketika kebijakan monopoli garam dan modernisasi produksi garam diterapkan, Nusantara mampu mencapai ‘Jaman Keemasan Garam’. 

Mengapa justru setelah negeri ini merdeka, garam menjadi barang ‘import’, sehingga menjadi ‘suatu kelucuan nasional’, yang semestinya tidak boleh terjadi.  Memang, tak data dipungkiri bahwa produksi garam fluktuatif dari masa ke masa, namun dalam fluktuasinya tersebut Nusantara pernah memasuki ‘jaman keemasan garam’, atau setidak-tidaknya berada dalam ‘swasembada garam’. 

Syukurlah, menurut Kepala Pusat Badan Statistik dan Informasi (Pusdatin), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indra Safti, pada 2012 lalu produksi garam di dalam negeri telah mengalami surplus 1,5 juta ton. Dengan demikian Indonsia telah mancapai swasembada garam, khususnya untuk konsumsi di dalam negeri. Menurutnya, ekspor garam bisa saja dilakukan, namun khusus untuk garam konsumsi,”. 

Dua tahun belakangan peningkatan produksi garam telah terlihat. Tumbuhnya peningkatan garam konsumsi di lapangan lantaran efektifnya program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) di sejumlah daerah. Potensi produksi yang terus melesat naik juga memberikan dampak simultan bagi suplai garam untuk sektor industri di dalam negeri.

Produktivitas lahan produksi garam dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari (musim), jumlah tenaga kerja, ketinggian pasang-surut air laut, serta teknologi yang dipergunakan dalam proses produksi. 

Dalam mewujudkan Swasembada Garam Nasional, tahun 2011 Kementerian Kelautan dan Perikanan melaksanakan kegiatan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) sebagai bagian dari PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan. 
Kegiatan PUGAR baru dimulai pada tahun 2011, namun sudah memberi kontribusi positif terhadap pembangunan sektor kelautan dan perikanan khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan melalui pemenuhan garam konsumsi di dalam negeri, yang selama ini masih dipenuhi oleh garam impor. 

Terbukti, semenjak tahun 2012 Indonesia sudah tidak melakukan importasi garam konsumsi. Swasembada garam konsumsi sudah tercapai. 

Program PUGAR bertujuan untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam rakyat serta kesejahteraan petambak garam rakyat lewat prinsip pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan melalui prinsip bottom-up. 

Artinya, masyarakat petambak garam secara partisipatif berperan aktif mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan lahan dan air laut, penyediaan sarana dan prasarana produksi, pemilihan dan pemanfaatan teknologi, sesuai dengan kondisi dan potensi setempat. (*)

(M. Dwi Cahyono A. adalah Arkeolog dan Sejarawan Universitas Negeri Malang)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *