MUI dari Masa ke Masa

Oleh: A Adib Hambali (*

PENGUASA Orde Baru saat itu menyadari muslim di Indonesia adalah kekuatan besar dan tidak mungkin ditinggalkan dari panggung politik di Tanah Air. Adalah fakta, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Tiga jalur kekuatan rezim Orde Baru, Golkar, birokrasi dan ABRI juga mayoritas anggotanya muslim.

Soeharto dan para elite politik mencari dukungan umat Islam dan mengarahkan para pemimpin untuk kepentingan Orde Baru. Maka muncul gagasan menyatukan ulama dalam satu wadah. Sejak 1973, gagasan wadah ini menjadi tempat para ulama membahas perkara-perkara umat dan mengeluarkan fatwa terkait hukum dan praktik Islam, di antaranya terkait halal-haram makanan/minuman dan lain lain.(James Rush dalam Adicerita Hamka, 210) dilansir Tirto.id.(27/11/2020).

Musyawarah Nasional I Majelis Ulama menghasilkan piagam berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 17 Rajab 26 Juli 1975.

Pendirian MUI dihadiri 26 ulama yang mewakili 26 provinsi, 10 ulama pusat dari NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah; empat orang ulama dari Dinas Rohani Islam empat angkatan dalam ABRI; serta 13 orang dengan reputasi sebagai cendekiawan. Di antara perorangan ini terdapat Kasman Singodimedjo dan Hamka.

MUI menyatakan diri sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.

Pada Juni 1973, Hamka, menurut Rush, dilobi oleh Menteri Agama Mukti Ali agar mau menjadi Ketua MUI. Hamka dikenal sebagai penulis dan ulama. Dia seorang Muslim Muhammadiyah yang menjauhkan diri dari fanatisme. Hamka secara teratur diundang berbicara di acara-acara Nahdatul Ulama,” tulis Rush.

Hamka diharapkan bisa memjembatani lebih banyak golongan. Seperti dicatat Rush, Hasan Basri—yang kemudian jadi Wakil Ketua MUI—menyebut Hamka “satu-satunya pilihan. Hamka adalah ketua MUI pertama.

MUI dimaksudkan sebagai sebuah wahana pemerintah untuk mengontrol Islam demi kepentingan. Hal ini sempat menjadi stigma bagi MUI. Hamka kemudian mundur sebagai Ketua MUI pada 1981, seperti dicatat Ricklefs, “sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah”.(M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013:277),

Era Reformasi

Pada 1998,  Soeharto lengser. Seperti disebut Ricklefs, “MUI menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan umat Islam—terutama dari kelompok-kelompok paling konservatif, Islamis dan Dakwahis—di hadapan pemerintah.” Kali ini MUI bisa independen seperti yang dulu dicita-citakan Hamka.

Pasca Orde Baru, seperti dicatat Fawaizul Umam dalam Kala Beragama Tak Lagi Merdeka (2014:156), “MUI tampak memainkan peran sebagai pemberi legitimasi teologis atas setiap kebijakan negara, di masa reformasi, saat negara melemah, MUI—khususnya dalam konteks praksis kebebasan—memainkan peran terutama sebagai lembaga control yang menjalan semacam screening (penyaringan) keyakinan guna menertibkan praktik-praktik keber-Islaman masyarakat dengan memancang keyakinan mainstream sebagatolok ukur utama.”

MUI memiliki legitimasi penuh menentukan halal-haram sebuah produk. Sejak 6 Januari 1989, MUI sudah punya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Oleh lembaga ini sebuah produk diuji dan mendapat sertifikat halal jika lolos.

Dalam politik Indonesia termutakhir, merangkul MUI berarti merangkul Islam. Tidak heran jika Rais Aam Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin yang ketua MUI kemudian digandeng Joko Widodo sebagai pasangan dalam Pilpres 2019. Keduanya kemudian menang dan tercatat sebagai ketua MUI pertama menjadi wakil presiden.

Setelah rareformasi, MUI mengalami transformasi yang agak ‘radikal’. Perubahan amat penting terjadi pada Munas MUI ke-VI pada 2005. Sejak itu, wajah MUI sebagai ormas yang ultra-konservatif amat kelihatan.

Beberapa tokoh Islam ‘kanan’ masuk di kepengurusan, termasuk dari HTI,” cuit Ulil Abshar Abdalla di Twitter, Sabtu, 28 November 2020.

Sementara itu, puncak konservatisme MUI baru terjadi pada 2017, ditandai dengan fatwa tentang tidak bolehnya seorang non-Muslim menjadi gubernur.

Dengan adanya fatwa itu, maka lahir Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, yang  diketuai oleh Bachtiar Nasir, lalu Yusuf Martak, yang keduanya merupakan pengurus MUI.

Seperti diketahui, sejumlah tokoh MUI yang terafiliasi dengan PA 212 pun tersingkir  dari kepengurusan baru MUI, di antaranya Bachtiar Nasir, Yusuf Martak, dan Tengku Zulkarnain.

Bachtiar Nasir sebelumnya sebagai Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI periode 2015-2020. Bachtiar dikenal tokoh yang berseberangan dengan pemerintah.

Nama Bachtiar mulai dikenal publik saat kasus penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2016.

Sosok berikutnya yang tidak masuk yakni Tengku Zulkarnain. Ia sempat menjabat sebagai Wakil Sekjen MUI periode 2015-2020.

Zulkarnain acap kali lantang mengkritisi kebijakan pemerintah. Ia juga terkenal dekat dengan tokoh-tokoh Aksi 212, seperti Rizieq Shihab. Bahkan, ia salah satu tokoh yang pertama menemui Rizieq setelah Imam Besar Front Pembela Islam itu kembali ke Tanah Air.(CNN Indonesia/29/11)2020)

Selain itu, ada pula nama Yusuf Muhammad Martak yang dikenal publik sebagai Ketua GNPF Ulama, gerakan penerus GNPF MUI Bachtiar Nasir. Martak sebagai Bendahara MUI 2015-2020, tapi saat ini namanya tidak tercantum dalam dewan pertimbangan ataupun dewan pimpinan MUI.

Tidak hanya tokoh-tokoh yang terafiliasi dengan PA 212, tokoh sekaliber Din Syamsuddin yang pernah menjabat Ketua Umum MUI pada 2014-2015 juga ada dalam kepengurusan MUI yang baru. Din menyatakan dirinya tidak bersedia masuk dalam kepengurusan baru ini.

Arah Ketua Umum MUI periode 2020-2025, KH Miftachul Akhyar pada Jumat dinihari, 27 November 2020, cukup jelas tertuang saat menyampaikan pidato tentang amanah ulama.
Tugas-tugas para ulama pada umumnya adalah berdakwah. Dakwah itu mengajak bukan mengejek, merangkul, bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati, dan  membela bukan mencela.

“Tugas-tugas ini saya harapkan dalam periode perkhidmatan kita, ini akan mewarnai dalam kehidupan kita semuanya. Umat sedang menunggu apa langkah kita.”.

Kita mengingatkan soal tujuan umum MUI, di antaranya, memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan ketahanan nasional. Selain itu, Partisipasi ulama dalam pembangunan nasional dan mempertahankan keharmonisan antarumat beragama di Indonesia.

MUI hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerja sama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Inilah salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluruh alam).

*): Redaktur Senior Detakpos.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *