Oooh..Palestina..!

Oleh: A Adib Hambali (*

DEWAN Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyampaikan taushiyah menjelang akhir tahun 2020. Di antaranya menanggapi tentang desakan agar Pemerintah Indonesia segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang saat ini kencang disuarakan oleh negara tertentu dengan iming-iming imbalan masuknya investasi ekonomi di Indonesia.

Pemerintah Indonesia secara resmi tidak bergeming dengan desakan tersebut dan tetap berpegang pada garis politik bebas dan aktif sesuai amanat Pembukaan UUD 1945.

Namun ada beberapa pejabat Pemerintah yang terus berupaya agar hal itu bisa terwujud. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI mendorong Pemerintah agar tetap berpegang pada amanat konstitusi dan lebih tegas menyuarakan di dunia internasional tentang posisioning bangsa Indonesia yang mendukung perjuangan bangsa Palestina dalam mendapatkan hak kemerdekaannya.(info.MUI, 24/12/2020).

Masih terkait Israel, polemik ini pernah muncul sebelumnya saat  The Israel Council on Foreign Relations (ICFR), mengundang KH Yahya Cholil Staquf (Katib Aam Syuriah PBNU), untuk memberi kuliah umum berjudul Shifting Geopolitical Calculus: From Conflict to Cooperation. Acara yang digelar, 13/8/2018, di the David Amar Worldwide North Africa Jewish Heritage Center, Yerusalem.

Ini kesempatan untuk menyampaikan pesan seluas luasnya secara global, dan ini platform yang akan memberi kesempatan untuk menyampaikan pemikiran tentang Yahudi sejujur-jujurnya tanpa eufimisme atau pun polesan diplomasi dan tanpa di-frame atau di-stigmakan sebagai “anti-semitis”. Sayangnya rencana pidato di AJC forum itu dibatalkan.

Tetapi Yahya Cholil  Staquf bisa bertemu sejumlah tokoh, antara lain: Dr. Ali Al Awar, pimpinan Badan Waqaf Masjid Al Aqsha; Mohammed Dajani Daoudi, ulama; para patriarch Katolik, Kristen Ortodoks Yunani dan Lutheran; H. E. Hazem Khairat, Duta Besar Mesir; kalangan intelektual di Universitas Hebrew; dan lain-lain.

Tentu saja dengan disiplin menjaga posisi “deniable”; tidak merugikan kepentingan Negara atau sekadar tidak ada manfaatnya. Kalau manfaat, perlu di-follow up agar menjadi keuntungan nyata.

Kesempatan sekecil apapun mestinya diperlukan di saat tidak ada negara kuat di Timur Tengah mampu menyentuh Israel untuk menghentikan konflik di Palestina. Pengepul donasi dari uang jutaan manusia juga tak mampu menghentikan agresi Israel dan jutaan kutukan dilontarkan kepada zionis Israel itu juga tidak mampu mengubah keadaan di sana,
ada tokoh NU yang diundang Israel dan bersentuhan langsung dengan sejumlah tokoh di sana untuk memaparkan konsep perdamaian atas konflik Palestina.

Misi Damai

Sebaiknya kita membuka catatan Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI M Ibrahim Hamdani. Dia mencoba menengok peran mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah disebut sebagai penengah konflik antara Israel-Palestina.

Ternyata, Gus Dur memiliki latar belakang historis yang cukup panjang. Pada 1994 Gus Dur dan beberapa temannya diundang oleh Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania.

Dalam buku berjudul ”Damai Bersama Gus Dur” Djohan Effendi menulis, ketika berkunjung ke Israel Gus Dur menyempatkan diri bertemu dengan sejumlah warga negara Israel, baik dari kalangan orang-orang Yahudi maupun dari kalangan orang-orang Arab Muslim dan Kristen.

Gus Dur merasakan ada hasrat damai yang kuat dari warga Israel, bahkan mereka mengatakan kepada Gus Dur: “Hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa makna kata damai.”

Setelah mendengar curahan hati rakyat Israel inilah Gus Dur tersentuh dan tergerak nuraninya untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina secara jujur dan adil dengan mengedepankan win-win solution.

Dalam artikel berjudul “RI Dilamar Jadi Mediator Konflik Palestina – Israel,” Derek Manangka menulis bahwa Indonesia dan Israel telah membuka komunikasi informal jauh sebelum Gus Dur berkunjung ke Israel, yakni melalui kunjungan tidak resmi Perdana Menteri (PM) Yitzhak Rabin (saat itu) ke kediaman pribadi Presiden RI kedua, Soeharto, di jalan Cendana, Jakarta, pada Oktober 1992.

Kunjungan ini bertujuan meminta jasa baik Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB) untuk menjembatani konflik Palestina-Israel. Menurut Derek, pertemuan tersebut menjadi sangat sensitif dan kontroversial bagi rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, apalagi RI juga tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel dan tidak pula memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga tidak mungkin terjadi pertemuan tete a tete (dua kepala pemerintahan) kedua negara.

Tiga hari pascapertemuan PM Rabin-Presiden Soeharto, Gus Dur pun menanggapi pertemuan kontroversial tersebut dengan memberikan komentar datar namun tetap kritis. “Tidak ada demonstrasi. Di kampung-kampung, masjid-masjid, semuanya tenang-tenang saja. Memang ada yang marah-marah tetapi kita lihatlah bagaimana reaksi masyarakat selanjutnya,” ujar Gus Dur kepada televisi BBC di Indonesia (Wawancara, 18-10-1993).

Gus Dur juga berpendapat, Yitzhak Rabin perlu bertemu dengan Soeharto karena dua hal utama. Pertama, posisi Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok, dan kedua terkait erat dengan persoalan internal negara-negara Islam.

Hingga saat itu masih banyak negara-negara Islam yang tidak menyetujui perjanjian damai antara Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, dari Israel dengan Presiden Palestina, Yasser Arafat. Adapun mengenai isu hubugan diplomatik dengan Israel, Gus Dur menyatakan: “Indonesia dalam berhubungan dengan Israel hendaknya jangan membuat teman baru dengan meninggalkan teman lama. Masih banyak negara Islam yang memusuhi Israel.”

Selain itu hubungan diplomatik bukan satu-satunya cara bagi Indonesia untuk berhubungan dengan Israel”. Dengan demikian dapat disimpulkan, di tahun 1992 Gus Dur setuju dengan suatu hubungan interaktif antara RI dan Israel namun tidak dalam bentuk hubungan diplomatik antara kedua negara, melainkan dalam bentuk hubungan dagang, hubungn militer, atau jenis hubungan lainnya.

Saat itu Gus Dur juga memperingatkan pemerintah RI agar jangan sampai hubungan interaktif dengan Israel mengorbakan persahabatan RI dengan negara-negara Islam lainnya, karena masih banyak yang memusuhi dan tidak mengakui kedaulatan Israel. Meskipun demikian Gus Dur juga setuju dengan keinginan pemerintah RI untuk turut aktif berperan serta dalam mewujudkan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina.

Hubungan dagang antara Indonesia dan Israel yang digagas oleh Gus Dur sepenuhnya bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi RI untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Dalam percakapan antara Gus Dur dengan Presiden Soka Gakkai Internasional, Daisaku Ikeda, Gus Dur mengungkapkan beberapa alasan utama yang menjadi latar belakang kebijakannya agar Indonesia membuka hubungan perdagangan dengan Israel.

“Saya selalu berpikir, selama ini negara kami telah lama berhubungan dengan Uni Soviet dan China yang tidak mengizinkan warga negaranya memeluk agama. Saya menganggap perlu diusahakan mencari kunci pembinaan hubungan dengan negara manapun, tanpa memandang bagaimana latar belakang masa lampau, maupun seberapa jauh kesulitan masalah yang ada di antara negara tersebut dengan negara kami,” ujar Gus Dur kepada Daisaku Ikeda.(Buku “KH Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda, Dialog peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian”di).

Hal ini menunjukkan, Gus Dur ingin  Indonesia melakukan hubungan interaktif dan bekomunikasi secara aktif kepada seluruh negara yang ada di dunia ini tanpa kecuali, baik dalam bentuk hubungan diplomatik, hubungan dagang, hubungan militer maupun jenis hubungan-hubungan antar negara lainnya.

Apalagi Israel bukanlah negara atheis seperti hal-nya China, Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Uni Soviet, melainkan negara demokrasi yang secara formal berbentuk sekuler tetapi sangat dipengaruhi oleh peradaban agama Yahudi, sehingga dari sudut pandang ini tidaklah bertentangan dengan Pancasila.

Bahkan selama ini Gus Dur telah berulang kali mengadakan kunjungan ke Israel, walaupun  dia mengetahui ada berbagai penentangan dan kritikan.

Gus Dur dikenal publik termasuk pihak yang pernah beberapa kali berkunjung ke Israel guna mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina serta membina hubungan kultural, religius, budaya dan akademis dengan Israel demi seutuhnya kepentingan bangsa Indonesia.

Peran aktif Gus Dur dalam mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel terlihat jelas dari keikutsertaanya sebagai anggota dan pendiri Yayasan Shimon Peres (Shimon Peres Foundation).

Menurut Juru Bicara Presiden Gus Dur, Wimar Witoelar, (saat itu), Yayasan Shimon Peres didirikan untuk menciptakan perdamaian di dunia, inilah sebab mengapa Gus Dur bersedia menjadi salah satu pendiri Yayasan Shimon Peres jauh sebelum menjadi Presiden RI.

“Keberadaan Presiden Wahid di yayasan tersebut justru karena konsisten untuk memperjuangkan perdamaian. Gus Dur mengenal orangnya dan tulisan Shimon Peres. Justru dari orang-orang semacam itu diharapkan lahir bibit-bibit perdamaian,” ujar Wimar Witoelar (Kompas.16 Oktober 2010).

Wimar Witoelar juga menyatakan, dalam masalah Palestina Indonesia bersikap mendukung perjuangan rakyat Palestina. Saat mengatasi konflik memang perlu meletakkan dasar-dasar perdamaian untuk masa depan di Palestina dan Israel.

Soal Yayasan Shimon Peres tidak perlu dibesar-besarkan karena hal ini tidak ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah Israel atau Zionisme ungkap Wimar Witoelar.

Dengan demikian keterlibatan aktif Gus Dur sebagai pendiri dan anggota Yayasan Shimon Peres merupakan bagian dari ikhtiar Gus Dur untuk mewujudkan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel.

Hal ini karena sejak awal didirikannya Yayasan Shimon Peres bertujuan untuk menciptakan perdamaian dunia dan tidak terkait dengan kebijakan pemerintah Israel atau pun zionisme. Ketika bertemu dengan Presiden Palestina, Yasser Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia, Presiden Wahid selaku Kepala Negara menegaskan, Indonesia terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu hak untuk mencapai perdamaian di Palestina, terserah pada orang-orang Palestina sendiri.

“Yang dalam hal ini tentu diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan atau konferensi OKI, PBB, dan lain-lain,” ujar Presiden Wahid saat jumpa pers bersama Yasser Arafat.
“Bukan saya mendukung, tetapi hal itu akan ditentukan oleh keputusan negara-negara organisasi Konferensi Islam (OKI) dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),”(Kompas 17 Agustus 2000).

Dengan demikian Presiden Gus Dur, bermaksud menerangkan, RI sebagai negara anggota OKI dan PBB akan turut aktif mendukung apa pun keputusan bangsa Palestina terhadap proses perdamaian di Palestina, yang diwujudkan melalui keputusan-keputusan OKI maupun resolusi-resolusi PBB.

(*Penulis Redaktur Senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *