Partai “Gurem”

Oleh : A Adib Hambali (*

PARTAI “Gurem” adalah istilah yang digunakan di dunia perpolitikan Indonesia menyebut partai-partai dengan perolehan suara kecil dalam pemilihan umum legislatif.

Meski dalam sistem demokrasi Pancasila tidak dikenal dominasi mayoritas dan tirani minoritas, nampaknya di DPRD Bojonegoro, Jawa Timur, harapan partai gurem itu jauh panggang dari api.

Setidaknya hal itu tergambar di DPRD Bojonegoro, pada paripurna, Selasa (24/9), dalam acara penetapan pimpinan Alat Kelengkapan Daerah (AKD).

Agak molor dari jadwal yang ditetapkan Ketua DPRD Imam Solikhin, yaitu akhir Agustus 2019 dibentuk AKD agar September Dewan bisa langsung bekerja.

Toleransi mundur Minggu kedua September 2019, pun terlewati sehingga akhir Minggu September AKD baru ditetapkan.

Tidak terlalu salah jika prediksi molornya penetapan AKD terkait tarik ulur penempatan pimpinan komisi dan badan di Dewan.

Setidaknya gagal di tingkat lobi, muaranya pada paripurna. Tiga dari delapan fraksi di DPRD, melakukam aksi walk out (WO) dari paripurna penetapan AKD.

Karena alasan sudah tidak ada kesepakatan lagi dalam musyawarah pembentukan AKD, tiga fraksi walk out, yaitu PAN Nurani Rakyat Indonesia Sejahtera, PPP, dan Fraksi Nasdem Perindo. Ketiganya mengaku tidak pernah diajak komunikasi dengan semua fraksi di DPRD.

Ketua Fraksi PAN Nurani Rakyat Indonesia Sejahtera, Suyuthi mengakui tidak bisa dikomunikasikan soal pembentukan dan pemilihan ketua AKD, sehingga mereka tidak harus mengikuti rapat karena tidak sesuai kesepahaman fraksi lain.

Pimpinan DPRD sudah tidak bisa menerima musyawarah dari tiga fraksi, terkait pilihan ketua BK atau AKD, mereka pun lebih memilih walk out.

Bahkan tidak pernah diajak komunikasi ketika pembentukan AKD. Dia pun menduga sudah ada ploting atau pembagian jatah untuk ketua AKD di DPRD.

Harapannya tidak ada voting, musyawarah mufakat, karena musyawarah sudah tidak bisa, dan dugaan sudah ada gambaran semua sudah ada jatah yang sudah di bagi oleh lima fraksi.

Ketua Fraksi PPP, Choirul Anam mengamini Suyuthi, mendukung musyawarah tanpa harus voting, sesuai keinginan yang disampaikan kepada pimpinan DPRD saat pertemuan sebelum rapat dimulai.

Harusnya semua ini diajak komunikasi, tanpa harus meninggalkan anggota fraksi lain. Muncul anggapan epertinya ketiga fraksi tidak dibutuhkan sehingga aspirasinya tidak diakomodasi.

Seharusnya jabatan di AKD dibagi rata dan tidak dimonopoli oleh beberapa fraksi saja, sehingga amanat wakil rakyat bisa terlaksana yaitu memeperjuangkan aspirasi rakyat secara merata.

Kelima fraksi yaitu PKB, Gerindra, Golkar, Demokrat dan PDI Perjuangan mendapat bagian dan jatah duduk di jajaran pimpinan AKD karena masuk kriteria lima partai besar.

Dengan komposisi ini antara eksekutif dengan legislatif akan “adem ayem”, jauh dari kegaduhan polotik yang kontraproduktif. Harmonisasi itu sangat positif jika untuk mengangkat dan menyejahterakan warga Bojonegoro, bukan kepentingan individu dan golongan.

Untuk PKB dan PDIP jelas memiliki tanggung jawab mengawali kepemimpinan Bupati Anna Mu’awanah, dan Wawan melaksanakan tugas dan janji janji kampanye.

Partai gurem pun tidak perlu patah arang meski tidak mendapat jatah “kue” yang terkadang bisa membebani partai untuk kritis terhadap pemerintah.

Ketua Nasdem Bojonegoro Alham Ubah menyatakan tidak masalah ditinggalkan partai besar. Pihaknya akan terus kritis terhadap pemerintah dengan memberi solusi untuk kepentingan rakyat.

Ini bentuk investasi politik pada masa mendatang agar partai tidak meninggalkan dan ditinggalkan, dan terus bersama sama memperjuangkan kesejahteraan rakyat Bojonegoro.

*)Penulis : Redaktur Senior Detakpos-.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *