People Power, Beda Dulu dengan Sekarang

Oleh : A Adib Hambali (*

PADA 21 Mei 1998, gerakan reformasi lahir di Indonesia menumbangkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.

Gerakan reformasi 1998 merupakan titik nadir keruntuhan rezim Orde Baru yang ditandai dengan Presiden Soeharto mundur setelah terjadi gerakan kekuatan rakyat (people power).

Krisis ekonomi Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran berbagai elemen di berbagai wilayah.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998, sehari setelahnya. Di bawah tekanan besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya mengundurkan diri.

Setelah lama tidak terdengar, di Pilpres 2019, kembali bergulir wacana gerakan people power.

Adalah Ketua Dewan Kehormatan DPP PAN, Amien Rais yang menarasikan beberapa hari menjelang coblosan ihwal akan bergeraknya people power.

Yang pasti, wacana people power saat ini beda dan tidak seperti dulu. Sebab, tidak ada kondisi yang memungkinkan gerakan itu dapat lahir kembali, yakni pemerintahan otoriter, represif, serta krisis ekonomi. Tidak ada alasan people power dapat terjadi sekarang.

Gerakan people power yang muncul saat ini dianggap dari pihak yang tidak puas. Itulah pendapat mantan Hakim Mahkamah Agung (MA) Gayus Lumbuun.

Dia menilai wacana pengerahan people power saat ini disuarakan kubu pendukung Prabowo Subianto, tidak ditujukan untuk keadilan masyarakat.
people power pun sekadar memenuhi keinginan pihak yang tidak puas,” kata Gayus di Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat (10/5/2019).

Tudingan kecurangan terstruktur, masif pun dialamatkan ke KPU untuk memantik gerakan poeple power.

Itu pun sulit terjadi di Pilpres dan Pileg 2019. Pasalnya, pemantauan dan pengawasan Pemilu dilakukan oleh banyak elemen.

Ancaman people power dengan asumsi terjadi kecurangan dalam Pilpres 2019 yang disampaikan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ada yang meniilai dapat menjadi bumerang.

Pengamat politik Lingkar Madani, Ray Rangkuti menilai kecurangan secara terstruktur sulit terjadi dalam Pilpres dan Pileg 2019. Pasalnya, pemantauan dan pengawasan Pemilu 2019 dilakukan oleh banyak elemen. Saat ini pengawas pemilu sampai ke tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Hal ini jelas berbeda dengan beberapa Pemilu sebelumnya, di mana pengawas hanya sampai tingkat kabupaten. Jumlah saksi di tiap TPS pun semakin besar dalam Pemilu 2019.

Saksi yang dihadirkan masing-masing partai politik di setiap TPS berjumlah 16 orang. Masing-masing pasangan calon di Pilpres 2019 juga ikut menghadirkan saksi di setiap TPS. Belum lagi saksi yang dihadirkan kaandidat caleg DPD.

Tak hanya itu, berbagai lembaga nirlaba juga berpartisipasi untuk memantau Pemilu 2019. Mereka tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga dunia internasional.

Jadi sebetulnya dengan begitu banyak varian pengawas, di mana lagi celah kecurangan itu akan terjadi.

Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto juga menilai tidak ada kecurangan terstruktur dalam Pilpres 2019. Kecurangan yang kemungkinan terjadi bukan dilakukan secara sistemik. Berbagai kecurangan yang ada pun masih dapat ditangani oleh lembaga yang berwenang, seperti Bawaslu, DKPP, polisi, PTUN, hingga Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengerahan kekuatan massa sebenarnya memang dapat dilakukan. Hanya saja, hal itu hanya bisa jika terbukti adanya gangguan kebebasan dan kesetaraan. Jika pengerahan kekuatan masaa dilakukan hanya untuk kepentingan politik tertentu, tidak yakin hal tersebut dapat terwujud.

* Penulis, Redakrur senior detakpos).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *