Perkembangan Kesejahteraan Bojonegoro: Padi, Tembakau, dan Migas (Sejarah lokal I)

Oleh Dr. Suyoto, M.si

Belajar sejarah: bukan untuk meramalkan masa depan, melainkan untuk membebaskan diri anda dari masa lalu dan membayangkan cita cita alternatif” Yuval Noah Harari, penulis Buku The History of Life.

Tembakau dan Migas, dua hal yang sangat dekat dengan kehidupan orang Bojonegoro, selain kayu jati, banjir, kekeringan dan sejarah kemiskinannya.

Saat membahas “Endemic Poverty” Bojonegoro, dalam karyanya yang luar biasa itu C Pander, sejarawan Australia, belum memasukkan aspek migas.

Tapi soal banjir, kekeringan, kayu jati dan tembakau diulas panjang lebar dalam hubungannya dengan kemiskinan. Hutan jati Bojonegoro dikuasai Kerajaan, Penjajah dan Negara, akibatnya mereka yang hidup di pinggiran hutan (45 persen dari jumlah penduduk) hidup miskin.

Rakyat yang keterampilan dan pendidikannya rendah tidak ada pilihan lain kecuali bertani. Celakanya: bertani tapi tanpa lahan.

Sebanyak 14 dari 17 desa di Kecamatan Ngasem rata rata warganya tidak punya lahan pertanian mandiri. Sementara petani di kawasan “non” hutan hanya memiliki lahan rata rata kurang dari 0,25 hektare.

Dengan kata lain mayoritas petani Bojonegoro kekurangan lahan atau alat produksi untuk menciptakan “income” atau pendapatan. Inilah andil terbesar lahirnya kemiskinan Bojonegoro.

Dalam suasana pendapatan kurang, orang Bojonegoro pernah dipaksa VOC Belanda budidaya tembakau, luas lahannya pernah mencapai 45 ribu hektar.

Pernah suatu masa tembakau tidak laku, rencana pengiriman ke Bremen gagal. Petani tetap harus bayar pajak. Banyak petani bangkrut, terjebak utang dan kekurangan bahan pangan. Hidup dalam gizi buruk menghadapi kemungkinan banjir dan kekeringan yang selalu mengancam setiap saat.

Situasi ini sebagaimana diungkapkan Pender menjadikan Bojonegoro dua daerah termiskin di Jawa bersama Pandegelang.

 

Keluar dari jebakan kurang pangan: kelola air dan tanam bibit unggul

Dalam setahun hampir ada 1,4 milliar meter kubik air turun dari atas langit Bojonegoro. Sinar matahari berlimpah sepanjang tahun. Jutaaan meter kubik air datang mengalir lewat bengawan solo.

Belanda menyadari potensi ini maka dibangunlah waduk pacal (1926) untuk menampung air hujan dan solo valley untuk memanfaatkan air Bengawan Solo. Hingga Belanda pergi Waduk Pacal sudah terbangun bersama seluruh jaringannya.
“Solo valley werken” (SVW) tanahnya sudah terbebaskan namun tidak sempat dibangun hingga kini. Bendung gerak Babat dan Bendung Gerak Bojonegoro (2012), tanggul dan pompa air sepanjang Bengawan Solo menjadi instrumen utama pemanfaatan air bengawan hingga kini.

Lewat waduk pacal dan pemanfaatan air bengawan solo ancaman kaparan dapat dilawan, kemiskinan berkurang. Hingga tahun 1980 masih terdengar ada warga Bojonegoro kekurangan pangan.

Namun jumlahnya terus berkurang sejak penanaman padi jenis Ir yang tahan hama dan produktifitasnya tinggi.

Apakah kemiskinan berlalu dari Bojonegoro? Sampai tahun 2000 rangking kemiskinan Bojonegoro nomor 1 di Jawa Timur.

Kemiskinan perlahan terus berkurang sejak pemerintah memberikan bantuan pangan, kesehatan dan pendidikan dasar. Infrastruktur pengairan terus dibenahi, pemanfaatan air dioptimalkan, infrastuktur pedesaan mulai tersentuh, industri migas, non migas dan pariwisata mulai berkembang.

Anak anak muda semakin banyak yang berani membuka usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan. Pendapatan warga naik dan orang miskin diurus Pemerintah.

Tahun 2008 kemiskinan Bojonegoro berubah di rangking tiga Jawa Timur, dan tahun 2016 pada rangking 11, namun angkanya masih di atas 14 persen.

“Lahir dan besar di Bojonegoro adalah takdir kita semua, tapi soal miskin, cukup atau kaya adalah pilihan! Kita boleh terlahir miskin tapi kalau mati dalam keadaan cukup atau kaya yang selalu memberi manfaat kenapa tidak!.

Semua cara yang menjadikan rakyat Bojonegoro lebih sehat, lebih cerdas dan produktif menciptakan pendapatan harus terus diberi ruang, didukung dan difasilitasi. Dana migas salah satu momentumnya!”Sebuah ungkapan bijak yang selalu didengungkan para pemimpinnya.

Antara migas dan tembakau!
Waktu saya kecil ada dua masa yang paling saya tunggu: Hari Raya Idul Fitri dan musim tembakau.Di dua masa inilah “embok” (ibu) saya memberi harapan makan nasi putih (beras) dan dibelikan baju serta sarung baru. Kalau pas hari raya idul fitri bersamaan dengan panen tembakau saya boleh dapat tambahan ditraktir lontong sayur plus tempe goreng di pasar Sroyo Kanor.

Tapi kalau tembakau gagal panen saat idul fitri tidak ada baju baru, dan biasanya nasi putihnya dicampur berasan jagung. Sehingga jadi putih campur kuning.

Embok saya sebagai menager ekonomi keluarga sangat handal mengelola pendapatan bapak, baik yang dari pertanian atau hasil kerjanya sebagai tukang kayu.

Embok sangat hati hati, selalu berpikir terjelek: gagal panen. Karena itu hidup kami sangat hemat. Hasil panen padi disimpan buat cadangan dan kalaupun ada lebih, baru dijual setelah musim panen berikutnya datang. Hasil tembakau disimpan, sebagian buat kebutuhan, sebagian dibelikan emas untuk cadangan.

Biaya sekolah saya di madrasah yang tidak mahal juga prioritas utamanya. Pernah karena gagal panen padi dan tembakau maka embok saya harus cari pinjaman kesana kemari untuk modal hidup saya kuliah di Malang.

Embok saya mengajarkan bagaimana mengelola pendapatan terbatas agar survive hidup. Bapak saya mengajarkan bagaimana penen tembakau.

Belakangan ajaran embok dan bapak ini sangat berguna bagi saya dalam mengawal industri migas selama saya menjabat Bupati Bojonegoro 2008 – 2018.

Panen migas itu ternyata mirip dengan panen tembakau. Dalam panen tembakau ada masa nggowoki, tengah dan mucuki. Dalam panen migas ada tahap early production, tahap peak production dan tahap penurunan (declining) hingga habis dan perbaikan.

Bedanya soal lama masing masing masa atau tahapnya. Bulan September atau wulan songo istilah orang Jawa adalah bulan yamg ditunggu tunggu, inilah masa puncak panen tembakau. Agustus masa “nggowoki”, Mei, Juni atau Juli bulan tanam, tergantung hujan berakhirnya.

Oktober- November masa “mucuki”. Pada umur tanaman 90 -100 hari. Pemetikan dilakukan 1-3 helai daun dengan selang waktu 2-6 hari. Waktu pemetikan tembakau Na Oogst (NO) dilakukan pagi hari (sebelum fotosintesis), sedangkan untuk tembakau Voor Oogst (VO) dilakukan pada sore hari (setelah fotosintesis).

Komposisi daun tembakau terdiri dari: daun pasir (3-4 lembar), daun kaki (4-6 lembar) inilah yang biasa disebut nggowoki, daun tengah (6-8 lembar) puncak panen dan daun pucuk (2-4 lembar) untuk panen mucuki.

Jika harga dan produksi lagi bagus masa puncak panen selalu dirindukan. Suasana pedesaan ramai, petani selalu tersenyum merekah dan pedagang tembakau lalu lalang.

Toko toko, warung ramai pagi, siang dan malam. Penjual barang berkeliling menjajakan dagangan dari kampung ke kampung. Banyak sepeda baru berlalu lalang, belakangan juga sepeda motor.

Toko mas ramai dikunjungi pembeli. Mushalla dan masjid direnovasi. Sebagian petani membeli biri biri untuk tabungan. Sebagian yang lain untuk pesta pernikahan, nanggap wayang, dangdut atau orkes. Anak anak seperti saya waktu kecil dapat baju baru.

Akhir Desember biasanya musim hujan, hingga Januari, Februari dan kadang Maret. Suasana di pedesaan banyak berubah. Jalanan pedesaan Bojonegoro sebelum tahun 2010 mayoritas masih tanah, yang kalau hujan berlumpur.

Mobilitas warga sangat berkurang. Para petani fokus ke sawah tanam padi. Inilah saat petani mengeluarkan biaya makan dan tanam padi, disamping biaya pendidikan dan kesehatan.

Tak jarang uang hasil tembakau habis sama sekali, banyak yang terpaksa pinjam ke sana kemari untuk menyambung hidup sampai musim panen padi tiba jika beruntung tidak ada banjir dan hama.

Musim panen tembakau selalu menjadi mimpi indah kembali, untuk janji membayar utang, memenuhi kebutuhan pokok, perbaiki rumah, senangkan keluarga atau pesta pernikahan.

Jika musim itu tidak jadi datang, tembakau gagal dipanen atau harga jatuh, petani tidak dapat berbuat banyak. Selain berharap pada musim laboh, padi atau musim kemarau tahun depan, semoga beruntung.

Bagaimana dengan migas?
Tahun 2018 mulai masuk puncak produksi, atau musim panen puncak atau daun tengahan istilah tembakau, 200 ribu barel lebih per hari minyak dipanen.

Masa tengahan ini diperkirakan sekitar 4 sampai 5 tahun. Masa “nggowokinya” sendiri atau disebut early production dimulai sejak 2012. Masa persiapan: ngukur, rundingan bikin gulutan sudah dimulai sejak tahun 2000. Ndedernya bibit minyak sudah dimulai lebih 30 juta tahun yang lalu.

Setelah 4 – 5 tahun ke depan produksi akan turun, masa mucuki tiba. Tahap ini bisa sampai 2037 atau sampai 2040 jika beruntung. Setelah itu masa recovery, masa pengembalian, perbaikan lingkungan agar normal kembali.

Lesson Learn: Pelajaran
Inilah migas, panen puncak hari ini adalah bagian dari rangkaian panjang proses alam, politik, bisnis dan sosial. Harga minyak dan tembakau tidak sepenuhnya ditangan pemilik.

Bedanya; tembakau bisa ditanam setiap tahun sementara migas perlu jutaan tahun alam ini untuk memprosesnya. Gunakan dan belanjakanlah hasil panen migas dengan tepat dan bijak untuk masa depan yang lebih baik.

Menginvestasikannya dengan tepat itu jauh lebih sulit dibanding menghabiskannya!. Selalu berlaku adagium, dibalek migas ada harapan kesejahteran termasuk anak cucu, tapi juga ada potensi kutukan bila tidak dikelola dan dibelanjakan hasilnya dengan tepat dan bijak.

“Kemajuan itu bukan ditentukan jumlah bangunan, tapi oleh kemampuan warga sebuah negara dalam menemukan dan menyelesaikan masalahnya untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan mandiri, bersama dan berkelanjutan”. Salah satu prinsip dalam pembangunan berkelanjutan yang dideklarasikan PBB sejak tahun 2015. (*)

(Dr. Suyoto, M.si, dosen Universitas Muhammadiyah Gresik, alumni Attanwir Talun Bojonegoro dan pernah menjabat Bupati Bojonegoro tahun 2008 – 2018.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *