Oleh: A Adib Hambali (*
“NILA setitik bisa merusak susu se belanga.” Pribahasa itu bisa untuk menggambarkan polemik menyusul pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar yang menyebutkan ada 198 pesantren terindikasi berafiliasi dengan kelompok jaringan terorisme.
Dapat dimaklumi, karena sejatinya data yang disampaikan Boy Rafli itu merupakan bentuk pertanggungjawaban institusi yang memiliki tugas pokok pencegahan radikalisme dan terorisme. Tentu saja, data yang disampaikan tersebut perlu dibaca sebagai pertanggungjawaban kinerja institusi di depan anggota DPR yang mempunyai tugas pencegahan radikalisme dan terorisme.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen R Ahmad Nurwakhid dalam keterangan pers tertulis Minggu (30/1/2022), menjelaskan, data tersebut merupakan hasil kerja pemetaan dan monitoring dalam upaya pencegahan radikal terorisme. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan semua stakeholder.
Dengan pendekatan multi pihak, kebijakan dan program pencegahan yang dilakukan oleh BNPT dibangun atas prinsip simpatik, silaturahmi, komunikatif dan partisipatif dengan seluruh elemen bangsa.
Harapannya, masyarakat pun tidak membuat narasi tuduhan negatif terhadap BNPT. Apalagi muncul tuduhan bahwa data yang disampaikan BNPT itu adalah bentuk Islamofobia.
“Karena itulah, sangat tidak benar dan tidak beralasan adanya narasi tuduhan terhadap BNPT yang seolah menggeneralisir dan menstigma negatif terhadap pondok pesantren yang ada di Indonesia, apalagi menuduh data tersebut bagian dari bentuk Islamofobia,” ujarnya.
BNPT pun telah melakukan silaturahmi kebangsaan dengan mengunjungi pesantren di berbagai wilayah di Indonesia secara berkala.
“Agar tidak keluar dari substansi dan tujuan data itu disampaikan, saya ingin menegaskan bahwa data tersebut harus dibaca sebagai upaya peningkatan deteksi dini dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang telah melakukan infiltrasi dan kamuflase di tengah masyarakat dalam beragam bentuk dan kanal,” jelasnya.
Ada kemungkinan, mereka yang “gerah” dengan data yang menyudutkan kelompok radikal itulah biasanya melakukan serangan balik dengan tuduhan Islamofobia.
Apalagi berdasarkan data Kementerian Agama, jumlah pondok pesantren di seluruh Indonesia sekitar 27.722. Artinya, 198 pesantren yang terindikasi terafiliasi jaringan terorisme tersebut hanya sekitar 0,007 persen.
“198 pesantren yang terindikasi terafiliasi jaringan terorisme tersebut hanya sekitar 0,007 persen yang harus mendapatkan perhatian agar tidak meresahkan masyarakat. Keberadaannya justru akan mencoreng citra pesantren sebagai lembaga khas Nusantara yang setia membangun narasi Islam rahmatan lil alamin dan wawasan kebangsaan.”
Nurwakhid pun mengungkap beberapa indikator pesantren yang disebut terindikasi berafiliasi dengan jaringan terorisme:
Pertama, pesantren yang secara ideologis terafiliasi dengan ideologi jaringan terorisme dan atau melakukan kegiatan atau pun aktivitas bersama di bidang politik maupun sosial keagamaan.
Kedua, pesantren yang secara ideologis maupun organisasi terafiliasi dengan jaringan terorisme sebagai strategi kamuflase atau siasat menyembunyikan diri dan agendanya (taqiyah) dan atau strategi tamkin, yaitu strategi penguasaan wilayah atau pun pengaruh dengan mengembangkan jaringan ataupun menginfiltrasi ke organisasi maupun institusi lain
Selanjutnya, pesantren yang berafiliasi dengan terorisme memiliki koneksi dengan jaringan terorisme. Pesantren yang terkoneksi atau terafiliasi biasanya terkait dengannya itu pendanaan maupun distribusi logistik.
“Di mana oknum pengurus dan atau para santri dari lembaga tersebut terkoneksi atau terafiliasi dengan jaringan terorisme, pesantren yang terkoneksi atau terafiliasi dalam pendanaan maupun distribusi logistik dengan jaringan terorisme,” tuturnya.
Bukan Isu Baru
Isu itu bukan baru. NU Online, Kamis, 7 Maret 2013, sudah mengangkat hal tersebut. Di Indonesia jumlah pesantren mencapai puluhan ribu. Terdiri dari pesantren bergaya tradisional, modern, dan kombinasi keduanya. Namun, akhir-akhir ini terdapat corak lain, yakni pesantren berhaluan keras atau radikal.
Koordinator media, data, dan informasi Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMINU), saat itu mengindikasikan pesantren radikal dapat dilihat dari paham dan sikap keberagamaannya, antara lain gemar memaksakan pendapat, anti-keragaman, dan mengambil jalan kekerasan. Pesantren garis keras ini tersebar baik di dalam maupun di luar Pulau Jawa dan jumlahnya dimungkinkan terbukti terus bertambah.
Mereka mengklaim sebagai kelompok Islam paling murni sehingga merasa berkewajiban mempurifikasi orang lain. Makanya mereka disebut puritan. Mereka suka memaksakan pendapat, sangat koersif.
Kelompok-kelompok yang berseberangan dengan paham ke-NU-an ini mulai tumbuh di Indonesia sekitar tahun 80-an. Mereka berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah kelompok transnasional masuk ke Indonesia yang mendorong perilaku ekstrem.
Sebagian dari mereka malah ada yang jelas-jelas melakukan konsolidasi melakukan kekerasan.
RMINU memastikan, pesantren berbasis nahdliyin tidak ada yang terlibat dalam radikalisme, apalagi terorisme. Melalui prinsip tasammuh (toleransi), tawasuth (moderasi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (tegak), lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara ini menolak berbagai bentuk kekerasan dan pembelotan terhadap NKRI.
Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa’adi, menanggapi BNPT yang mencatat 198 pesantren terafiliasi dengan Jamaah Ansharul Khilafah (JAK), Jamaah Islamiyah (JI), dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) serta simpatisan ISIS. Wamenag menyarankan masyarakat agar memahami tentang pesantren agar tidak salah memilih.
Yang perlu dipahami adalah definisi pesantren. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dijelaskan bahwa pondok pesantren, dayah, surau, meunasah, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut pesantren.
“Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT,” kata Wamenag (Republika, Jumat, 28/1/2022).
Pesantren juga menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya. Melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka NKRI.
Jadi ada sejumlah kata kunci yang harus dipahami orang tua tentang pesantren, yaitu keimanan, akhlak mulia, Islam rahmatan lil alamin, rendah hati, toleran, moderat, keteladanan, dan NKRI.
Kedua, disebut sebagai pesantren manakala memenuhi unsur paling sedikit memiliki kiai dan santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau mushola. Serta ada kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin. Kalau unsur-unsur ini tidak terpenuhi, berarti bukan pesantren.
Ketiga, masyarakat atau orang tua juga harus mengenali pengasuh, jaringan alumni, dan kurikulum pesantren sebelum memasukan anaknya ke pesantren tersebut. Hal itu untuk memastikan bahwa pesantren tersebut memiliki pengasuh, proses pengenalan ini juga untuk memastikan sanad keilmuan pesantren.
Jika ada pihak menyebut pesantren tapi lembaga tersebut tidak memenuhi sejumlah kriteria itu, maka bisa disebut pesantren abal abal. Pihak BNPT pun sebaiknya tidak menyebut pesantren karena lembaga tidak masuk kriteria yang ditentukan oleh undang undang. Jika terpaksa, bisa disertai kata abal abal.(*)
Redaktur senior Detakpos.com