Pokir DPRD, Antara Aspirasi dan Transaksi?

Oleh: A Adib Hambali *

POKOK Pikiran (Pokir) DPRD, dari berbagai sumber dan referensi disimpulkan konsep dan tujuannya sangat bagus, dan bisa menjadi sarana ibadah dalam memperjuangkan aspirasi masyakat untuk kepentingan bersama.

Pokir DPRD adalah produk usulan hasil kunjungan reses oleh anggota, sehingga menghasilkan sejumlah usulan berasal dari konstituen anggota DPRD di daerah pemilihan masing-masing. PP 1/2001 dan PP 25/2004, pada pokoknya anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Pokir juga tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010, adalah salah satu tugas Badan Anggaran DPRD memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat lima bulan sebelum ditetapkan APBD.

Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun ini dibaca dan dipahami sebagai:: (1) penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Jadi hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; (2) disampaikan kepada kepala daerah.

Hal ini karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian Pokir langsung kepada kepala daerah dalam hal ini Bupati(3) bahwa Pokir sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan.

Jadi sangat jelas dalam PP 16/2010 bahwa aspirasi masyarakat berbentuk Pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah.

Pokir disampaikan paling lambat lima bulan sebelum APBD ditetapkan. Dalam praktek ditemukan ada perbedaan waktu reses dan frekwensi pembahasan APBD. Reses DPRD dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Sementara pembahasan APBD hanya dua kali: pembahasan APBD (murni ) dan APBD perubahan.

Sedangkan ketentuan penyampaian Pokir DPRD selambatnya lima bulan sebelum penetapan APBD. Dalam perakteknya ketentuan ini sering dipandang sebelah mata oleh DPRD, karena Pokir sering masuk injury time ditetapkan APBD.

Secara kelembagaan, seharusnya Pokir dalam bentuk keputusan pimpinan DPRD. Hal ini untuk menghindari klaim sepihak baik oleh anggota, pimpinan, komisi atau Banggar baik secara lisan maupun tertulis bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah Pokir DPRD.

Sementara tata tertib DPRD maupun PP 16/2010 tidak mengurai secara terperinci bagaimana mekanisme dan tata cara hingga melahirkan dokumen negara yang disebut Pokir DPRD.

Ada keterputusan antara Tim Inventarisasi Hasil Reses yang mengkompilasi dan menilai laporan reses dari semua anggota DPRD kepada output berupa Pokir DPRD yang selanjutnya diserahkan kepada Banggar.

Ketidakjelasan ini mengakibatkan masing-masing anggota, komisi bahkan fraksi dan bahkan mengatasnamakan kepentingan pribadi anggota dewan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah Pokir DPRD, sehingga terkesan menjadi ajang perlombaan sebanyak banyaknya mendapatkan anggaran. Semakin banyak anggaran, banyak pula keuntungan cash back yang bisa diraih.

Atas Ketidakjelasan itu, Pokir DPRD beserta mekanisme dan tata cara penyampaiannya berakibat munculnya praktek-praktek penyalahgunaan istilah Pokir oleh anggota DPRD.

Titip Proyek

Penyalahgunaan itu antara lain diasumsikan bahwa Pokir adalah hak anggota DPRD karena berasal dari laporan hasil reses di masing-masing daerah pemilihan. Anggota DPRD melakukan “penitipan proyek” di RAPBD baik secara perserorangan maupun lewat komisi atas nama Pokir DPRD.

Pembahasan RAPBD antara Komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan Pokir DPRD. Padahal ketentuannya, Pokir DPRD merupakan tugas Banggar.

Dalam perkembangan, Pokir berubah wujud menjadi dana jenis-jenis kegiatan atau disebut dana Pokir. Titik tekannya pada sejumlah usulan dana, bukan pada perjuangan aspirasi dan usulan yang terangkum dalam Pokir. Pokir pun berubah menjadi “teknik dan jurus siluman”anggota DPRD dalam menggasak APBD.

Karena berdasarkan aturan penyampaian Pokir lima bulan sebelum penetapan APBD, masih dalam tahapan pembahasan RKPD (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) hingga pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA).

Sebelum bicara tentang jenis-jenis kegiatan dan satuan harga, jenis-jenis kegiatan dan satuan harga baru terjadi pada tahap pembahasan RKA-SKPD. Tapi prakteknya, saat pembahasan RKA-SKPD inilah dana Pokir disusupkan. Karena, jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal.

Dalam perkembanganya Pokir menjadi semacam sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD. Istilah Pokir telah diketahui umum di kalangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menitipkan sejumlah proyek-proyek tertentu dalam APBD.
Oleh karenanya istilah Pokir tidak lagi dimaknai sebagai pokok-pokok pikiran DPRD.

Dan proses pengajuan Pokir sebagai kode dilakukan semua pihak di luar Banggar dan diajukan tidak lagi bersandar pada batas waktu maksimal lima bulan. Pokoknya Pokir diajukan sebelum RAPBD diserahkan kepada Kemendagri.

Karena pokir yang diajukan menjelang penetapan APBD maka tidak heran jika jenis kegiatan yang diusulkan keluar dari program prioritas dan pagu anggaran yang tertera dalam PPAS.

Dan dalam kontek program pokir seolah terpental jauh dari grand desain RPJMD karena ini harus dibahas secara khusus sambil seruput kopi alias “kongkalikong”.

Inilah kemungkinan yang diinginkan masyarakat agar pembahasan Pokir di Banggar, di manapun, dibahas secara terbuka, transparan, untuk menghindari kongkalikong dan tidak menimbulkan prasangka tidak baik terhadap anggota dewan terhormat.(edisi revisi)

-Redaktur senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *