Pokir DPRD Antara Aspirasi dan Transaksi?

Oleh: A Adib Hambali *

ISTILAH POKIR (Pakok-Pokok Pikiran) DPRD mencuat di Bojonegoro, Jawa Timur. Sejumlah anggota Dewan kabarnya diperiksa oleh Satreskrim Polres setempat untuk diminta keterangan terkait dugaan transaksi proyek.

Tetap berpegang pada prinsip praduga tidak bersalah, secara hukum kita perlu menunggu proses. Tidak benar jika memvonis pada oknum yang masih dalam proses tersebut.

Dari berbagai sumber dan referensi yang terangkum disimpulkan, konsep dan tujuan Pokir ini sangat bagus, dan bisa menjadi sarana ibadah dalam memperjuangkan aspirasi masyakat.

Secara hukum perlu dipahami bahwa konteks dan prosedur  yang menjadi basic referensi anggota Dewan dalam menjalankan tugas menjaring aspirasi itu dikemas dalam bentuk Pokir.

Pokir DPRD adalah produk usulan hasil kunjungan reses oleh anggota, sehingga menghasilkan sejumlah usulan yang berasal dari konstituen anggota DPRD di daerah pemilihan masing-masing. Pokir adalah usulan aspirasi.

Dengan demikian Pokir DPRD adalah nomenklatur mirip “penjaringan aspirasi masyarakat”,(Jaring Asmara ) seperti tercantum di PP 1/2001 dan PP 25/2004, pada pokoknya anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Istilah Pokir juga tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010, adalah salah satu tugas Badan Anggaran DPRD “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat lima bulan sebelum ditetapkan APBD.

Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun  ini harus dibaca dan dipahami sebagai berikut: (1) penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Jadi hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; (2) disampaikan kepada kepala daerah.

Hal ini karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian Pokir langsung kepada kepala daerah dalam hal ini Bupati(3) bahwa Pokir sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan.

Jadi Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada kepala daerah, dan (4) disampaikan paling lambat lima bulan sebelum APBD ditetapkan.

Jadi sangat jelas dalam PP 16/2010 bahwa aspirasi masyarakat berbentuk Pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah.

Tetapi penjelasan itu tidak mengurangi pelbagai masalah yang akan muncul perihal Pokir DPRD.

Dijelaskan bahwa Pokir disampaikan paling lambat lima bulan sebelum APBD ditetapkan. Dalam praktek ditemukan ada perbedaan waktu reses dan frekwensi pembahasan APBD. Reses DPRD dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Sementara pembahasan APBD hanya dua kali: pembahasan APBD (murni ) dan APBD perubahan.

Sedangkan ketentuan penyampaian Pokir DPRD selambatnya lima bulan sebelum penetapan APBD. Namun dalam perakteknya ketentuan ini sering dipandang sebelah mata oleh DPRD, karena sering usulan berupa Pokir masuk injury time ditetapkan APBD.

Masalah berikutnya, apa wujud output dokumen dari Pokir DPRD tersebut. Secara kelembagaan, seharusnya Pokir harus dalam bentuk keputusan pimpinan DPRD. Hal ini untuk menghindari klaim sepihak baik oleh anggota, pimpinan, komisi atau Banggar baik secara lisan maupun tertulis bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah Pokir DPRD.

Sementara tata tertib DPRD maupun PP 16/2010 tidak mengurai secara terperinci bagaimana mekanisme dan tata cara hingga melahirkan dokumen negara yang disebut Pokir DPRD.

Ada keterputusan antara Tim Inventarisasi Hasil Reses yang mengkompilasi dan menilai laporan reses dari semua anggota DPRD kepada output berupa Pokir DPRD yang selanjutnya diserahkan kepada Banggar.

Ketidakjelasan ini mengakibatkan masing-masing anggota, komisi bahkan fraksi dan bahkan mengatasnamakan kepentingan pribadi anggota dewan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah Pokir DPRD, sehingga terkesan menjadi ajang perlombaan sebanyak banyaknya mendapatkan anggaran. Semakin banyak anggaran, banyak pula keuntungan cash back yang bisa diraih.

Atas Ketidakjelasan itu, Pokir DPRD beserta mekanisme dan tata cara penyampaiannya berakibat munculnya praktek-praktek penyalahgunaan istilah Pokir oleh anggota DPRD.

Titip Proyek

Penyalahgunaan itu antara lain diasumsikan bahwa Pokir adalah hak anggota DPRD karena berasal dari laporan hasil reses di masing-masing daerah pemilihan. Anggota DPRD melakukan “penitipan proyek” di RAPBD baik secara perserorangan maupun lewat komisi atas nama Pokir DPRD.

Pembahasan RAPBD antara Komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan Pokir DPRD. Padahal ketentuannya, Pokir DPRD merupakan tugas Banggar.

Dalam perkembangan, Pokir berubah wujud menjadi dana jenis-jenis kegiatan atau disebut dana Pokir. Titik tekannya pada sejumlah usulan dana, bukan pada perjuangan aspirasi dan usulan yang terangkum dalam Pokir. Pokir pun berubah menjadi “teknik dan jurus siluman”anggota DPRD dalam menggasak APBD.

Karena berdasarkan aturan penyampaian Pokir lima bulan sebelum penetapan APBD, masih dalam tahapan pembahasan RKPD (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) hingga pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA).

Sebelum bicara tentang jenis-jenis kegiatan dan satuan harga, jenis-jenis kegiatan dan satuan harga baru terjadi pada tahap pembahasan RKA-SKPD. Tapi prakteknya, saat pembahasan RKA-SKPD inilah dana Pokir disusupkan. Karena, jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal.

Dalam perkembanganya Pokir menjadi semacam sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD. Istilah Pokir telah diketahui umum di kalangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menitipkan sejumlah proyek-proyek tertentu dalam APBD.
Oleh karenanya istilah Pokir tidak lagi dimaknai sebagai pokok-pokok pikiran DPRD.

Dan proses pengajuan Pokir sebagai kode dilakukan semua pihak di luar Banggar dan diajukan tidak lagi bersandar pada batas waktu maksimal lima bulan. Pokoknya Pokir diajukan sebelum RAPBD diserahkan kepada Kemendagri.

Karena pokir yang diajukan menjelang penetapan APBD maka tidak heran jika jenis kegiatan yang diusulkan keluar dari program prioritas dan pagu anggaran yang tertera dalam PPAS.

Dan dalam kontek program pokir seolah terpental jauh dari grand desain RPJMD karena ini harus dibahas secara khusus sambil seruput kopi alias “kongkalikong”.

Atas tinjauan legal formal dan sosio politik, sangat jelas, Pokir adalah program legal yang dimiliki oleh setiap anggota dewan bahkan sebuah program yang mulia bagi masyarakat di daerah pemilihan untuk diperjuangkan dan direalisasikan secara benar, karena dalam kenyataan masih banyak masyarakat merasa belum mendapatkan keadilan dalam pembanguan baik fasilitas fisik maupun nonfisik dari pemerintah yang harus terus diperjuangkan hak-haknya oleh anggota dewan yang mewakili masyarakat.

-Redaktur senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *