Polemik Jaminan Produk Halal

Oleh : AAdib Hambali (*

RANCANGAN Omnibus Law masih menjadi polemik. Tentu saja oleh pihak yang setuju maupun yang tidak sependapat. Termasuk Jaminan Produk Halal (JPH) dalam RUU Penciptaan Lapangan Kerja (Cilaka).

Berkaitan JPH, ada pendapat pemerintah mestinya hanya melakukan menyederhanakan proses yang berbeda, bukan meniadakan ketentuan substantif, misalnya fatwa Majelus Ulama Indonesia (MUI), pada produk halal.

Artinya, sertifikasi halal harus diselenggarakan berdasarkan prinsip keagamaan, karena terminologi halal dan haram adalah hukum agama, sehingga hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi keulamaan.

Fatwa produk halal bersifat qodoi. Artinya final dan binding, karena merupakan penetapan fiqih Qada’i yang hasilnya tidak dimungkinkan lagi dibuka ruang untuk pengujian kembali, tidak boleh lagi terjadi perbedaan pendapat. Karena itu fatwa produk halal harus ditetapkan oleh MUI, bukan diserahksn kepada ormas Islam, apalagi perseorangan.

Untuk menghindari perbedaan fatwa karena harus bersifat final dan binding. Maka sudah tepat penetapan fatwa atas produk halal dilakukan oleh MUI.
Lembaga ini tempat bernaung ormas Islam tempat berhimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 Ormas Islam lainya hingga Persatuan Umat Islam.

Mencermati RUU Omnibus Cilaka, berkaitan fatwa produk halal yaitu pada Pasal 1 angka 10 yang menyatakan:
“Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal”.

Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang Undangan MUI Pusat Dr H Ihsan Abdullah berpandangan, bahwa hukum agama telah dikooptasi oleh hukum Negara. Pemerintah memberikan kewenangan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menetapkan kehalalalan produk. Inilah masalah berpotensi mengundang perlawanan umat Islam.

“Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh Negara menjadi komisi fatwa?”(Detakpos, 17/2/2020). Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama. Justru negara harus memperkuat posisi ulama dengan fatwa bukan mendelegitimasi apalagi menghilangkan.

Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH Pasal 1 angka 10, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI”. Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat perlu diperkuat lagi oleh Negara bukan dicabut.

Bila RUU Cilaka mengesahkan ketentuan pasal tersebut, maka sama halnya BPJPH, Kementerian Agama dan Negara telah mendelegitimasi peran lembaga keagamaan khususnya MUI.

Selanjutnya, pada RUU Cilaka Pasal 7, memasukan ketentuan norma baru dengan cara menyisipkan pasal baru. Ini jelas tidak lazim jika pun boleh dilakukan maka ketentuan Pasal 4, sebenarnya Pemerintah menciptakan fase kemunduran 30 tahun ke belakang dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menganggu ketentraman masyarakat yang selama ini telah diberikan jaminan kenyamanan dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk yang berlogo halal MUI penanda jaminan kehalalan suatu produk yang tidak berdasarkan pernyataan sepihak dari pelaku usaha (self declare), karena pada dasarnya semua pelaku usaha ingin melakukan self declare atau menyatakan kehalalan produknya sendiri.

Justru dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan fatwa MUI dan bukan dari yang lain.

Hal itu dapat menciptakan disintegrasi antar ulama dan ormas Islam karena ketentuan Pasal RUU Cilaka membuka ruang semua Ormas Islam memberikan fatwa tertulis atas sebuah produk. Ini sangat berbahaya karena ulama yang selama ini telah bersatu dalam rumah besar MUI akan terpecah karena semua diberikan ruang untuk berfatwa yang diizinkan negara. Demikian argumentasi Ihsan Abdullah, Direktur Indonesia Halal Watch ,(IHW).

Sejalan RUU

Pada sisi lain, jauh sebelum RUU diserahkan ke DPR, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan rekomendasi kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Adalah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang menilai regulasi terkait jaminan produk halal bertentangan dengan kaidah hukum, aspek sosiologis, dan aspek yuridis.

PBNU melayangkan surat rekomendasi kepada Ketua DPR yang juga tembusanya disampaikan kepada Presiden RI, Ketua Komisi VIII DPR RI, Badan Legislasi DPR RI, dan arsip.(Detakpos 5/12/2019).

PBNU menilai bahwa UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH bermasalah secara filososis. Undang-undang ini bertentangan dengan kaidah dasar hukum, yakni al-ashlu fil asyya’i al-ibahah illa an yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan).”

PBNU juga menyoroti UU tentang JPH secara sosiologis. Masyarakat Indonesia mayoritas Muslim. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat Muslim merupakan penduduk minoritas yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi dari segi konsumsi makanan haram.

Oleh karena itu produk dari regulasi ini salah satunya adalah jaminan halal (sertifikat halal).

Oleh karena itu, dalam konteks sosioligis di Indonesia, yang seharusnya disertifikasi adalah produk-produk yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.

Dalam kaitan itu PBNU merekomendasikan agar lembaga yang ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan Standar Nasional Indonesia diperkuat.

Adapun secara yuridis, berdasarkan teori distribusi kewenangan UU tentang JPH ini bermasalah. Pada prinsipnya negara dapat mendistribusikan kewenangannya sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun konstitusi memberikan batasan yaitu untuk hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Oleh karenanya distribusi kewenangan dalam konteks JPH tidak dapat dilakukan hanya oleh negara. Selain itu, norma dalam Undang-undang JPH ini memberikan monopoli terhadap Komisi Fatwa MUI untuk menerbitkan fatwa. Padahal dalam sistem hukum yang berlaku berdasarkan UUD 1945, kewenangan untuk menerbitkan fatwa hanya berada di cabang kekuasan yudikatif; yaitu Mahkamah Agung RI.

Monopoli kewenangan ini tampak dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan yang belakangan Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 Tentang Layanan Sertifikasi Halal yang ditandatangani Menag RI pada 12 November 2019.

Dari prinsip dasar hukum Islam ini, PBNU menilai UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh karena bertentangan dengan kaidah hukum.

Rekomendasi revisi total atas UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH didasarkan pada serangkaian kajian terbatas, seminar secara ekstensif, dan munazharah, bahtsul masail dalam Rapat Pleno PBNU pada tanggal 20-22 September 2019 di PP Al-Muhajirin Purwakarta terkait UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.*)

Penulis: Redaktur senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *