Politik “Daun Salam”

Oleh: AAdib Hambali (*

HIKAYAT Daun Salam” pada masa kampanye Pilpres 2019 kerap muncul. Hal itu untuk menggambarkan posisi kiai NU di ranah politik masa silam.

Tanpa daun salam, masakan gulai bakal hambar. Gurihnya tidak dapat. Lezatnya akan jauh berkurang. Tapi, daun salam hanya diperlukan saat gulai belum masak.

Begitu gulai sudah siap dihidangkan, daun salam pun dibuang. Tiada peran apa-apa lagi. Nikmatnya jabatan, gurihnya kekuasaan, lupa pada jasa si Daun Salam. Masih relevankah politik “Daun Salam”?

Presideb Joko Widodo dan Wapres KH Ma’ruf Amin telah melantik anggota Kabinet Indonesia Maju. Nama nama anggotanya kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, dan TNI/Poliri.

Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren.

Padahak basis-basis NU begitu solid. Captive-market Jokowi sedemkian terjaga, dan hampir semua black campaign berbasis politik identitas yang hendak mendistorsi kepercayaan terhadap Jokowi, patah dengan sendirinya.

Banyak pihak mengakui kontribusi kiai NU, bahkan dalam batas-batas tertentu, ada yang berpandangan bahwa kalau bukan kiai NU yang berada di samping Jokowi, maka barisan pendukung 01 tidak akan menyaksikan pelantikan Jokowi pada 20 Oktober 2019 untuk periode kedua.

Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada tokoh yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren.

Pengamat sosial politik Sumanto Al Qurtubi dari Jabal Dhahran, Jazirah Arabia, menilai Ida Fauziyah (Menaker) dan Abdul Halim Iskandar (Menteri PDT) dianggap sebagai “representasi” Muhaimin Iskandar (Cak Imin atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud MD sudah lama dianggap “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU.”

Namun mantan Ketua PBNU KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) berbeda dengan Sumanto. NU di pemerintahan saat ini menempatkan sejumlah tokoh, yaitu Wapres KH Ma’ruf Amin, dan tiga menteri dari PKB, Mhafud MD dan Wamenag Zanut Tauhid dari PPP.

Yang menarik adalah posisi Menag yang selama ini hampir dipastikan dijabat oleh “kader” NU, tapi kini jatuh ke tangan mantan jenderal Fachrul Razi.

Sebagai mantan wakil Panglima TNI, Fazhrul Razi tentu dikenal sebagai ahli strategi militer. Itulah yang dipertanyakan Sumanto, mau apa di Kemenag?

Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag tapi di instansi atau lembaga lain dan BUMN. Kemenag diisi para santri yang justru selama ini berperang melawan kelompok “Islam radikal,” sebut kader NU yang juga pengajar antropologi di King Fadh University lewat pesan WA yang beredar secara berantai.

***
Presiden Jokowi keluar dari tradisi Menteri Agama dari NU dan Muhammadiyah dengan merekrut dari luar arus dua organisasi besar tersebut.

Itu ada kemungkinan untuk merespons saran Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang mendorong pemerintah memrioritaskan upaya merangkul komunitas atau kelompok masyarakat yang menolak takdir kebhinekaan Indonesia (intoleranl-red).

Rumusan pendekatan kepada kelompok atau komunitas-komunitas tersebut perlu diperbarui. Untuk mendapatkan rumusan yang tepat. Pemerintah dan parlemen patut menjalin kerja sama dengan semua lembaga atau institusi keagamaan. (Detakpos, Minggu (13/10/2019).

Rong-rongan terhadap kebhinekaan sudah demikian nyata, karena sejumlah komunitas terang-terangan menyatakan tidak lagi mencintai fakta keberagaman yang menjadi takdir bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam tahun-tahun terakhir ini, kelompok atau komunitas intoleran itu terlihat di mana-mana. Di sekolah, kampus perguruan tinggi, di banyak tempat kerja, dan di banyak institusi negara atau institusi pemerintah.

Pada saat yang sama, ada kekuatan lain yang menunggangi kecenderungan itu dengan mengerahkan pelaku teror.

Kini, teror terhadap negara sudah menjadi ancaman nyata yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Inilah realitas masalah atau persoalan yang dihadapi Indonesia dewasa ini.

Negara memang sudah menyikapi kecenderungan ini dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Di luar itu banyak tokoh masyarakat dan pemuka agama, termasuk pejabat pemerintah pun tidak henti-hentinya menyerukan perlunya menjaga kerukunan dan budaya toleran. Banyak kegiatan dialog lintas agama dan budaya sudah digelar.

Namun, kata Bamsoet, publik merasakan bahwa ragam program dan pendekatan untuk mereduksi perilaku intoleran itu belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Kecenderungan saling hina antar-kelompok atau antar-golongan bahkan makin tinggi intensitasnya.

Karena itu perlu dicari dan dijajaki rumusan program dan model pendekatan lain. Utamakan program dan pendekatan baru yang bertujuan menghilangkan saling curiga.

Selama ini, dirasakan ada kebuntuan karena keengganan berdialog. Belum lagi sikap saling curiga antara negara dengan komunitas-komunitas itu. Untuk tujuan ini, pemerintah dan parlemen perlu mengambil inisiatif.

Agar lebih komprehensif memahami akar permasalahan, pemerintah dan parlemen layak mendengarkan pandangan dan masukan dari lembaga-lembaga agama.

Menjadi ideal jika rumusan program dan model pendekatan baru itu dilandasi kemauan baik saling merangkul dalam konteks sesama anak bangsa, untuk kemudian berdialog.

”Jika ada kontinuitas dialog, perilaku intoleran menjadi tidak relevan lagi.” Begitu saran Bamsoet yang diperkirakan akan dirumuskan oleh pemerintah saat ini dengan menunjuk Menag Fahrul Razi dengan strategi merangkul.

*) Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *