Pseudo-Democracy?

Oleh A Adib Hambali(*

SELAMA ini publik hanya bisa bergunjing soal penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran oleh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI maupun daerah yang kerap off side, hanya menjadi bahan diskusi di warung warung kopi. Tentu selalu terpatahkan oleh bantahan karena tidak ada bukti valid.

Terjaringnya komisioner KPU Wahyu Setiawan alias WS dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), sepertinya mengkonfirmasi pergunjingan di tengah masyarakat soal independensi penyelenggara pemilu ini.

Banyak prediksi para pengamat, kasus ini bisa berdampak pada persepsi publik terhadap KPU. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu.

Meskipun bisa menjadi pintu masuk untuk membersihkan KPU pusat hingga ke daerah, ini menjadi ironi di tengah upaya negara bersih-bersih lembaga politik dari koruptor.

Alih alih membersihkan lembaga politik yang terbiasa main politik uang, komisioner KPU-nya terkena OTT. Kasus Wahyu semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa ada sejumlah oknum komisioner genit di setiap event politik.

Kini KPU mempunyai pekerjaan rumah (PR) mengatur strategi mengatasi persepsi nyinyir publik. Lembaga ini harus menjelaskan secara tegas dan persuasif kepada publik terkait peristiwa ini demi menghindari publik yang negatif menjelang Pilkada 2020, serta secara kelembagaan.

Kasus Wahyu Setiawan, menurut teori “gunung es”, ini baru puncak di permukaan yang nampak. Semakin ke dalam akan lebih besar.
Ini bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik praktik suap di KPU.

Tindak pidana dugaan suap Wahyu dapat terjadi lantaran pengawasan yang lemah di internal KPU. Faktor tersebut kemudian menjadi celah bagi para pegawai “nakal” untuk melancarkan aksi suap.

Bisa jadi, dugaan praktik suap yang dilakukan KPU itu tidak hanya terjadi di tingkat pusat, melainkan juga di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perlu mengungkap dugaan adanya “borok” di lembaga penyelenggara pemilu itu. Hal tersebut, semata-mata dilakukan untuk memperbaiki kinerja lembaga penyelenggara demokrasi ini ke depan.

Kalau kita mau membongkar itu, andaikan informan dan key Informan adalah kepala daerah, DPRD, dan KPU RI yang sudah habis masa jabatan semua di interview, akan terbuka itu.

Tidak berlebihan jika Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengajak para aktivis yang tergabung dalam Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (PRODEM) melakukan kajian tentang kualitas demokrasi Indonesia yang sudah berjalan 21 tahun.

Seberapa jauh demokrasi memberikan kesejahteraan kepada rakyat, serta apa saja PR Indonesia dalam menumbuhkembangkan demokrasi.

“Berbagai persoalan tersebut masih menjadi tanda tanya bagi kita semua. Demokrasi kita saat ini sepertinya sudah terjebak dalam angka-angka, bukan lagi demokrasi yang berkualitas yang bisa mensejahterakan rakyat. Jangan-jangan selama ini demokrasi kita masih jauh panggang dari api, jangan-jangan kita masih terjebak dalam Pseudo-Democracy? (Demokrasi semu),” ujar Bamsoet saat menerima aktivis PRODEM di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Rabu (15/1/20).

Demokrasi yang menjamin kebebasan setiap orang bebicara dan menyampaikan aspirasi politiknya, bukan tanpa konsekuensi. Ketika setiap orang bebas berbicara tanpa dilandasi tanggung jawab, yang terjadi terkadang adalah kebisingan politik dibanding esensi politik.

“Sistem Pemilu kita sampai hari ini juga belum mampu meloloskan orang-orang yang memiliki kualitas lolos menjadi wakil rakyat. Politik transaksional masih mewarnai wajah demokrasi kita. Peran besar masyarakat sipil seperti PRODEM sangat besar dalam mendorong perubahan demokrasi ke arah yang lebih baik, yakni dengan memberikan masukan kepada lembaga eksekutif maupun legislatif,” tandas Bamsoet.”).

Penulis : Redaktur senior Detakpos

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *