Oleh : A Adib Hambali (*
SIR Thomas More (1478-1535), mengkhayalkan negeri sejahtera. Di Pulau Utopia negeri antahberantah itu semua orang hidup bahagia, kecukupan, tenteram tidak ada kejahatan. Juga tidak ada pejabat yang sewenang-wenang serta tidak ada penderitaan.
Ketua Parlemen dan Lord Chancellor Kerajaan Inggris itu membayangkan, semua orang mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang halal, jujur. Impian itu dituangkan dalam buku berjudul “Utopia”.
Founding fathers juga telah membangun “jembatan emas” berupa kemerdekaan untuk menuju negeri impian dengan memimpin rakyat keluar dari penderitaan, bebas dari penindasan dan kesewenang-wenangan penjajah.
Di seberang jembatan itu terbentang kesejahteraan, anak terlantar diurus oleh Negara, penduduk hidup dalam suasana aman, pejabat berlaku adil, sehingga tercipta negeri yang adil dan makmur. Lagi-lagi itu masih berupa impian yang dituangkan dalam UUD 1945.
Reformasi yang juga menjadi jembatan emas justru menggiring ke arah mengguritanya korupsi. Alih-alih membebaskan, sektor yang diharapkan menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi (rasuah) kerap dijebol oleh koruptor.
Inilah babak dari kasus korupsi dalam sejarah negeri. Perang besar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melawan koruptor di instansi dan birokrasi pusat dan daerah mencapai puncaknya. KPK mengungkap dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran di Ditjen Bimas Islam Kemenag, senilai Rp. 35 miliar dan proyek pengadaan laboratorium komputer Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Ditjen Pendidikan Islam tahun anggaran 2012.
Korupsi di Kemenag menjadi refleksi bersama. Kabarnya, lembaga ini telah lama terjamah oleh tangan koruptor. Mantan ketua umum PB HMI dan budayawan Ridwan Saidi dalam sebuah acara talk show di televisi pernah mengatakan, pada tahun 1958, saat kesulitan ekonomi di awal pascakemerdekaan, telah dikenalkan kasus korupsi penyelewengan dana kain kafan sumbangan Jepang.
Tak berlebihan juga jika almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika masih menjadi ketua umum PBNU, mengingatkan hal itu.
Cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari itu mengibaratkan Depag (saat itu) seperti pasar, banyak dan rawan transaksi proyek mulai dari soal penyelenggaraan haji, pernikahan, dan pendidikan, sehingga dia mengusulkan agar dibubarkan.
Pernyataan itu bukan pepesan kosong. Pada tahun tahun kemudian KPK mengungkap kasus korupsi. Dua nama, yaitu mantan menag Said Agil Husein Al Munawar dan mantan dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Taufik Kamil telah dipenjara karena terbukti melakukan korupsi dana abadi umat dan penyelenggaraan haji senilai Rp 100 miliar.
Belum lagi hilang dari ingatan masyarakat, instansi yang disebut ”benteng moral” itu kembali diguncang kasus korupsi. KPK telah menetapkan tersangka korupsi pengadaan Alquran di Kemenag pada 2011/2012.
Kemudian, mantan menteri Agama Suryadharma Ali juga mendekam di penjara setelah diputus terbukti bersalah telah korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji 2010-2013.
Kabar mengejutkan di Jumat “keramat” yang mengguncang benteng moral tersebut. Sejumlah oknum pejabat di Kemenag ikut ditangkap Tim Satuan Tugas (Satgas) (KPK). Oknum itu ditangkap KPK pada Jumat (15/3/2019).
Penangkapan berkaitan dengan kasus dugaan jual-beli jabatan di Kemenag, yang melibatkan Ketua Umun Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP), M Romahurmuziy yang akrab disapa Romi.
Benteng moral di Kabupaten Bojonegoro, (TPQ) pun dijebol. Setelah proses penyidikan hampir setahun, akhirnya Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat menetapkan tersangka SDK. Warga Kelurahan Ngrowo, Kecamatan Kota Bojonegoro menjadi tersangka karena terbukti melakukan penyimpangan dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama RI di Kabupaten Bojonegoro untuk bantuan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) di Bojonegoro.(TVOne,30/10/2021).
Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro
Badrut Tamam mengatakan, kasus bermula dari program pemulihan ekonomi nasional yang di berikan kepada TPQ melalui Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI untuk penanganan Covid-19, atas usulan dari bawah yakni Forum Komunikasi Pendidikan Al-Qur’an (FKPQ) , dan di Bojonegoro sendiri mendapatkan Rp. 14,260 Miliar, di bagi ke 1.426 TPQ, yang tersebar di 27 kecamatan. Namun terealisasi 1.322 TPQ di mana masing-masing lembaga mendapatkan Rp. 10 juta.
Menurutnya, setelah adanya pembagian di beberapa TPQ, beberapa pengurus TPQ keberatan dengan adanya pembagian yang seharusnya mendapatkan Rp 10 juta, ternyata ada pemotongan. Dalam pelaksanaanya dilakukan oleh FKPQ yang diketuai SDK dengan Rp. 1,07 Milliar dengan dalih infaq.
Mungkin sudah kering lahan materi untuk dijadikan lahan korupsi di sektor lain, sehingga harus menjamah wilayah paling “keramat”.
TPQ yang diharapkan menjadi benteng pertahanan moral terakhir yang seharusnya bebas dari sentuhan tangan rasuah di Bojonegoro, kini telah jebol. Gurita korupsi telah merambah di seluruh lini, lintas waktu, ruang, sektor, batas usia, gender, dan lintas sekuler-agama.
*) : Redaktur senior Detakposcom