Rekonsiliasi Belum Tuntas

Oleh: AAdib Hambali (*

MAHKAMAH Konstitusi (MK)  memutuskan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tidak berlaku.

Dengan keputusan MK, mereka yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (eks PKI), dikembalikan hak konstitusionalnya, dan diperbolehkan menjadi calon legislatif (caleg).

Bagi yang setuju, putusan itu tepat karena mengembalikan hak warga negara dari para tahanan politik (tapol) yang dirampas rezim orde baru. Hal itu disebut sebut sebagai awal proses rekonsiliasi, sehingga hukum bisa membantu memulihkan upaya rujuk nasional itu.

Tentu saja tidak semata dari hukum. Rekonsiliasi mesti terjadi dari dalam hati ke hati. Yang terpenting menghilangkan ”dendam” politik akibat perjalanan sejarah di era 1960-an itu. Namun perlu tetap jujur pada sejarah. Jangan seakan akan mereka tidak bersalah serta menghilangkan peristiwa pemberontakan.

Adalah Ketua Paguyuban Korban Orde Baru, Ribka Tjiptaning Proletariyati saat itu yang menilai keputusan MK terlambat. Penulis buku ‘Aku Bangga Menjadi Anak PKI’ itu menegaskan yang terpenting mencabut Tap MPRS XXV/Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai Terlarang di Indonesia. Kesan yang muncul, rekonsiliasi yang terkandung di balik putusan MK itu masih belum sepenuh hati.

Letupan pun sering muncul dalam momentum tertentu. Terkini memanfaatkan momentum pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Tudingan pun dialamatkan pada anak anak PKI yang berulah.

Karuan saja hal itu memantik reaksi dari sejumlah ormas. Atas nama  pimpinan MUI Pusat dan Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia
menyampaikan maklumat tentang RUU HIP.

Tidak dicantumkan TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 adalah bentuk
pengabaian terhadap fakta sejarah yang
pernah dilakukan oleh PKI di Indonesia, sehingga
sama artinya dengan persetujuan terhadap pengkhianatan bangsa tersebut

Bahwa RUU HIP pun dinilai telah mendistorsi substansi dan makna nilai- nilai Pancasila, sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD  1945.

“Kami memaknai dan memahami bahwa pembukaan UUD Tahun
1945 dan batang tubuh telah memadai sebagai tafsir dan penjabaran paling
otoritatif dari Pancasila, adanya tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru telah
mendegradasi eksistensi Pancasila.

Memeras  Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni “Gotong
Royong”, adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila itu sendiri, dan secara terselubung ingin
melumpuhkan keberadaan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa yang
telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945, serta
menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian hal ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Tahun 1945 sebagai Dasar  Negara, sehingga bermakna pula sebagai pembubaran NKRI yang berdasarkan pada lima
Sila tersebut.

Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah ada.

RUU HIP dinilai dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik.

“Anyaman kebangsaan yang dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa terkoyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis,” ungkap Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj(Detakpos.17/6/2020).

Padahal tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus.
Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan Staatsfundamentalnorm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional.

Jika dirasakan ada masalah mendasar terkait pembangunan nasional di bidang demokrasi politik Pancasila, maka jalan keluarnya adalah reformasi paket undang-undang bidang politik (legislative review).

Begitu pula jika ada masalah terkait dengan haluan pembangunan ekonomi nasional yang dirasakan menyimpang dari jiwa demokrasi ekonomi Pancasila, maka yang perlu dipersiapkan adalah RUU Sistem Perekonomian Nasional sebagai undang-undang payung (umbrella act) yang secara jelas dimandatkan oleh Pasal 33 ayat (5) UUD 1945.

Pandangan dan sikap MPR pun menegaskan yang dibutuhkan saat ini undang-undang teknis yang berfungsi untuk mengatur bagaimana cara negara melaksanakan fungsi dan tugas sosialisasi dan pembinaan Ideologi Pancasila oleh BPIP dan juga MPR RI.

“Bukan mengutak-ngatik lagi soal Pancasila sebagai ideologi yang telah menjadi konsesus kebangsaan dan kesepakatan para pendiri bangsa,” ujar Bsansoet. (Detakpos,19/6/2020).

Urusan ideologi tidak boleh ada keragu-raguan.“ Diperlukan ketegasan sikap, jiwa patriot dan nasionalisme yang teguh untuk menutup pintu rapat-rapat bagi komunisme.

Pemerintah dan DPR agar nama dan substansi hukum dari RUU Haluan Ideologi Pancasila jika ingin diteruskan pembahasannya, harus dirubah dan kembali kepada tujuan awal dan kebutuhan hukum tentang tugas pembinaan ideologi Pancasila dengan nama RUU Pembinaan Ideologi Pancasila, dengan menghapus seluruh tafsir-tafsir yang ada dalam pasal-pasal RUU tersebut yang telah menimbulkan polemik dan penolakan publik.

Penulis: Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *