Sarung, Santri dan Pluralisme

Oleh : A Adib Hambali (*

MEMPERINGATI Hari  Santri Nasional (HSN) 2019, Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, Anna Mu’awanah mengeluarkan surat edaran kepada Aparat Sipil Negara (ASN) di daerah tersebut. Isinya,  agar mereka mengenakan seragam baju muslim  (sarung dan baju koko), serta muslimah pada tanggal 22, 23, dan 24 Oktober 2019.

Pada zaman Hindia-Belanda, sarung bisa dikatakan identik dengan perjuangan melawan budaya Barat yang dibawa para penjajah.

Sikap konsisten penggunaan sarung itu dilakukan oleh seorang pejuang, yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh penting dan salah satu muassis (pendiri) Nahdlatul Ulama (NU).

Suatu ketika, dia diundang Presiden pertama RI Soekarno. Protokol Kepresidenan meminta untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara Kenegaraan, ia datang mengenakan jas, tetapi bawahan memakai sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsa di hadapan para penjajah.

Wajar jika kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung. Sarung seperti menjadi wajib dimiliki, khususnya yang laki-laki.

Kain yang dililitkan dari pinggang sampai ke bawah ini biasa dipakai ketika mengaji, ibadah, diskusi, atau kegiatan berjamaah. Bahkan, sarung dipakai sebagai pengganti selimut ketika tidur.

Dari beberapa literatur,
(Wikimedia, santrionline dan Gomuslim.com), sarung disebut berasal dari Yaman. Awalnya dipakai suku badui di sana. Saat itu, sarung yang berasal dari kain putih itu dicelupkan ke dalam neel, pewarna bewarna hitam.

Penggunaan sarung pun meluas. Tidak hanya ada di Semenanjung Arab saja, namun sarung juga sampai di Asia Selatan, Afrika, Asia Tenggara, Eropa, hingga Amerika.

Di Yaman, sarung dikenal dengan nama futah, izaar, wazaar atau ma’awis. Di Oman, sarung disebut wizaar. Kemudian orang Arab Saudi mengenal dengan nama izaar.

Tekstil memang menjadi industri pelopor di era Islam.
Pada saat itu, standar tekstil masyarakat Muslim di Semenajung Arab sangat tinggi. Industri itu di era Islam memiliki pengaruh yang  besar terhadap Barat. Sarung menjadi pakaian tradisonal masyarakat Yaman.

Sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman. Kemudian orang-orang yang berkunjung ke Yaman biasanya menjadikan sarung sebagai buah tangan.
***
Sarung masuk ke Indonesia pada abad ke-14. Saat itu dibawa para saudagar Gujarat dan Arab yang juga menyebarkan agama Islam.

Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia akhirnya identik dengan kebudayaan Islam.

Sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan untuk menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi di masyarakat. Makanya, sarung sering dipakai untuk shalat di masjid. Biasanya laki-laki mengenakan atasan baju koko, sedangkan bawahan menggunakan sarung. Sedangkan, wanita memakai atasan mukena, sedangkan bawahannya menggunakan sarung.

Pada perkembangannya, di Indonesia sarung sendiri tidak hanya dikenakan oleh umat muslim. Tetapi, non-muslim juga mengenakan sarung. Seperti umat Hindu di Bali. Mereka sarung dikenakan untuk upacara-upacara adat dan keagamaan.

Sementara, masyarakat di NTT, sarung dikenakan untuk kehidupan sehari-hari, bahkan untuk melindungi tubuh dari suhu malam hari yang agak dingin.

             ***
Sarung itu tidak memiliki karet, atribut resleting dan kancing. Bentuknya sangat sederhana, namun corak kain sarung sangat beragam. Ini menjadi filosofi seharusnya pemikiran dalam bersosialisasi di tengah pluralisme masyarakat yang kompleks seperti corak sarung. Bahwa seseorang  itu hanya perlu berbuat baik dengan memberi manfaat kepada sesama.

Tanpa atribut lain juga mengartikan bahwa kita semestinya bersikap fleksibel, tidak kaku dalam bergaul. Adanya ruang ketika kain sarung dipakai mengibaratkan untuk menerima dengan lapang apa yang menjadi permasalahan umat untuk dirasai bersama.

Gulungan kain diperut mengisyaratkan supaya kita tetap kuat menjaga silaturahmi antar sesama.

*)Redaktur Senior Detakpos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *