“Serangan Fajar”, Trending Topik Jelang Coblosan

Oleh: A Adib Hambali (*

DALAM dunia politik Indonesia, “serangan fajar” adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka membeli suara yang di lakukan oleh satu atau beberapa orang untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin politik.

Serangan fajar umumnya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kerap terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum alias coblosan.

Bentuk politik uang yang dilakukan adalah dengan cara membagi-bagikan uang menjelang hari pemungutan suara dengan tujuan agar masyarakat memilih partai atau kader tertentu.(Wikimedia)

Istilah itu kembali mencuat setelah Tim Satuan Tugas (Satgas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang Rp 8 miliar dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu dan Kamis, 27-28 Maret 2019.

Uang tersebut ditemukan tim satgas dalam pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu yang sudah dimasukkan ke dalam 400 ribu amplop. ‎

Amplop tersebut sudah tersusun rapi dalam 84 kardus yang diduga akan digunakan untuk serangan fajar oleh politikus Golkar, BSP. Demikian Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, (28/3/2019).

Serangan fajar untuk politik uang itu selalu muncul ketika digelar pemilu, dan menjadi salah satu trending topic karena selalu disebut sebut calon pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya.

Ini menjadi salah sebab politik biaya tinggi yang mesti ditanggung oleh calon legislatif jika ingin lolos ke Senayan. Tentu sajaasoh terbebani dana untuk biaya pencalonan dan kampanye.

Politisi senior PDI Perjuangan Pramono Anung menilai biaya kampanye calon anggota legislatif (caleg) bervariasi mulai dari ratusan juta rupiah hingga mencapai Rp 20 miliar.
Ada caleg yang mengeluarkan biaya kampanye hingga Rp 20 miliar, pada Pemilu 2009,” kata Pramono Anung (buku “Basa Basi Dana Kampanye”)

Terkait akibat politik biaya tinggi ini,  ICW mencatat, sejak awal berdiri KPK sudah menjerat lebih dari 264 politikus menjadi tersangka kasus korupsi.

Seluruhnya berakhir jadi penghuni penjara karena di persidangan terbukti melakukan tindak korupsi.

Rinciannya, 100 kepala daerah dan 164 leboh anggota DPR/DPD/DPRD.

Realitasnya kontestasi pemilu di Indonesia nyaris tidak pernah sepi. Mereka seolah tak takut dan tak peduli dengan kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK.
Sebagian politisi juga meyakini, berjuang merebut posisi anggota Dewan menjanjikan kursi kekuasaan. Kendati untuk menjadi anggota Dewan memerlukan modal dan risiko besar, mereka percaya probabilitas tertangkap oleh KPK masih jauh lebih kecil dibandingkan peluang keberhasilan.

Hal ini bukan aneh. Pasalnya, semua posisi di dalam struktur lembaga negara dari mulai lembaga legislatif, eksekutif hingga yudikatif diisi oleh kader partai politik. DPR sebagai institusi kader partai politik juga ikut melakukan fit and proper test dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia, Dirut BUMN, Ketua KPK, KY, MK, MA sampai Kapolri dan komisioner KPI.

Ini menunjukan begitu besar peranan parpol dalam sistem politik dan kenegaraan saat ini. Partai politik sebagai lembaga pencetak pejabat publik, posisinya sangat strategis dan menentukan.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) bercerita, salah satu pengeluaran yang besar yaitu harga surat rekomendasi yang dikeluarkan partai.

Untuk mendapatkan rekomendasi partai politik rata-rata Rp 5 miliar. Kadang-kadang perlu tiga rekomendasi sehingga perlu Rp15 miliar.

Dengan angka hitung-hitungan seperti itu, Bamsoet tak menampik pejabat bakal putar otak untuk mengembalikan uangnya. Di sini terjadilah celah korupsi untuk mendulang keuntungan kembali.

Karena itu calon legislatif yang berlaga  harus sudah memiliki dompet yang mapan. Jika tidak, dikhawatirkan akan muncul sebagai bibit korupsi di tubuh eksekutif maupun legislatif.

*) Penulis: Redaktur senior Detakpos.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *