Oleh: A Adib Hambali(*
“DRAMA” Penundaan Pemilu dan Presiden Tiga Periode telah ditutup. Gong penutupan ditabuh oleh Presiden Joko Widodo pada 5 April 2022.
“Jangan ada lagi jajarannya yang menyuarakan penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden,” kata Presiden Jokowi di hadapan para menteri dalam sidang kabinet paripurna.
Isu itu pertama digulirkan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Menteri Bahlil Lahadalia. Bak bola salju, terus menggelinding dan semakin membesar sehingga menyebabkan kabulkan pro dan kontra
Berbagai pihak dalam survei terbukti menyimpulkan publik menolak rencana pemilu ditunda dan memperpanjang jabatan Presiden.
Tanpa pernyataan Jokowi pun, manuver perpanjangan pemilu dan presiden tiga Periode sebenarnya sudah dikalahkan.
Manuver penundaan pemilu dan presiden tiga periode itu memang begitu kuat bergema. Publikasinya besar karena isu itu seksi dan sensasional. Terasa ada sekenario besar yang dikerjakan secara masif dan sistematis.
Namun kekuatan itu tidak cukup besar untuk mampu melakukan amandemen mengubah aturan konstitusi: Pemilu setiap lima tahun dan Presiden dua Periode.
Hadir kekuatan yang lebih besar lagi yang melawan manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode. Mayoritas publik anti manuver itu. Mayoritas anggota MPR/DPR anti pula manuver itu.
Mengapa mayoritas publik dan partai anti manuver penundaan pemilu dan presiden 3 periode?
Pengamat politik dan peneliti LSI Denny JA menganalisa ada tiga penyebabnya. Pertama, tak ada alasan genting mengapa pemilu harus ditunda. Tak ada pula riset dan argumen kokoh bahwa jabatan presiden 3 periode pasti lebih baik dibanding jabatan presiden 2 periode saja.
Tanpa alasan yang genting dan kuat, manuver itu terasa hanya memiliki kepentingan politik jangka pendek: memanjangkan kekuasaan Jokowi.
Tak ada gagasan kuat yang misalnya bersentuhan dengan isu kemajuan bangsa, isu hak asasi manusia, atau isu inovatif yang sesuai dengan peradaban modern.
Yang hadir justru isu yang kuno. Menunda pemilu misalnya menjadi kuno karena melawan demokrasi: bahwa pemilu yang reguler dan tepat waktu adalah prasyarat konsolidasi demokrasi.
Presiden 3 periode juga tak kalah kunonya. Tak ada daya tarik dari isu itu yang berhubungan dengan peradaban modern. Presiden 3 periode tak ada bukti empirik ataupun argumentatif lebih baik daripada presiden 2 periode dari sisi pembatasan, efektivitas kekuasaan, ataupun pemerintahan yang bersih.
Kedua, sistem politik yang sehat memerlukan sirkulasi kepemimpinan nasional. Jabatan dua periode presiden itu kompromi optimal hasil trial and error 162 tahun Amerika Serikat.
” Sudah ada contoh negara besar yang sukses dengan presiden dua periode saja.Tapi tak ada contoh negara yang sukses dengan presiden 3 periode !,”tutur Denny.(*)
Redaktur Senior Detakpos.com