Oleh: A Adib Hambali *
ADA pertanyaan penuh gundah dari Syakib Arsalan, seorang tokoh kelahiran Libanon (1869-1946): “Mengapa kaum muslim pada umumnya terbelakang dan yang lain mengalami kemajuan?”
Pertanyaan serupa juga disampaikan Mahmud Syaltut. Menurut ulama dan pemikir abad ke-20 dari Al Azhar, Mesir, salah satu penyebab di antaranya karena Muslim kurang mengutamakan ilmu.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, dalam berbagai kesempatan menyoroti terjadinya dikotomi antara ilmu agama dan pengetahuan umum di kalangan Muslim sendiri, sehingga dalam mendalami ilmu pengetahuan mengalami kemunduran. Mereka mengetahui bahwa semua ilmu itu milik Allah SWT.
Setidaknya, hal itu kembali dibuktikan di era pandemi Covid-19 saat ini. Sesuatu telah terjadi pada berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Untuk kasus Covid-19, peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyampaikan dua data dunia yang perlu menjadi renungan.
Pertama adalah list negara yang paling banyak terpapar virus corona. Worldometer menyediakan data itu. Hingga 15 Febuari 2021, dalam rangking 50 negara yang paling banyak terpapar virus corona, terdapat banyak negara yang mayoriitas Muslim.
Yaitu Turki (rangking 9), Iran (15), Indonesia (19), Irak (28), Pakistan (30), Bangladesh (33), Maroko (34), Saudi Arabia (39), Jordania (41), Lebanon (42), dan Malaysia (49).
Dalam rangking 50 negara paling banyak terpapar virus corona, terdapat 11 negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
“Kini kita lihat data kedua. Ini list vaksin Covid-19 dan asal negara yang diotorisasi oleh WHO,”tulis Denny JA.
Terdapat 10 vaksin yang sudah diotorisasi (vassice otorized for emergency use or approved for full used).
Sepuluh vaksin Covid-19 itu dan asal negaranya sebagai berikut. BBIBP-Corv (Cina), Sputnik V (Rusia), Pfizer (USA, Germany), Moderna (USA), Oxford-Aztrazenaca (United Kingdom), Coronavac (Cina), Ad5-Ncov (Cina), EpiVac Corona (Rusia), BBV152 (India), Ad26. Cov2.S (Netherland, United States).
Tiga vaksin berasal dari China. Dua vaksin dari Rusia. Dua vaksin dari Amerika Serikat. Lalu Jerman, United Kingdom, India, dan Netherland masing masing menyumbang satu vaksin.
Denny pun bertanya. Mengapa tidak ada satu pun negara mayoritas Muslim menyumbangkan penemuan vaksin Covid-19 yang sudah diotorisasi oleh WHO?
Dilihat asal negara, dan agama populasinya, negara yang mayoritas Kristen, Hindu, bahkan tak beragama, berhasil menyediakan vaksin untuk Covid- 19.
“Bukankah banyak negara yang mayoritas Muslim ikut terpapar virus Corona. Bukankah menyediakan vaksin itu bagian dari menolong kemanusiaan yang merupakan inti ajaran agama, termasuk agama Islam?” Demikian sejumlah pertanyaan yang disampaikan Denny JA.
Tak adanya vaksin Covid-19 yang sudah diotorisasi berasal dari negara mayoritas Muslim pastilah bukan tidak ada niat baik. Ini yang terjadi. Lebih dari 50 negara yang mayoritas Muslim tak mempunyai kemampuan ilmiah, sebaiknya negara non- Muslim. “Ini fakta. Ini data. Ini realitas,”ungkap Denny.
Kawasan Muslim, dengan Kitab Suci dan Nabi yang sama, pernah paling menonjol dalam ilmu dan pengetahuan dibandingkan kawasan lain yang non-Muslim.
Itu di era golden age of Islam, tahun 786-1258. Aneka jenis ilmu pengetahuan tumbuh paling pesat justru di kawasan Muslim, di bawah the wa Umayyads of Córdoba, the Abbadids of Seville, the Samanids, the Ziyarids, the Buyids in Persia, the Abbasid Caliphate.
Ilmu berkembang di kawasan Muslim mulai dari astronomi, matematik, medicine, kimia, botani, agronomi, geography hingga zoologi.
Kesimpulan dapat ditarik dari data itu, yaitu telah terjadi kemerosotan peradaban ilmu di kawasan Muslim sejak 1258- 2021. “Selama kurang lebih 763 tahun, kawasan Muslim semakin redup, sementara kawasan non- Muslim justru semakin bersinar.”
Dalam ilmu pengetahuan, tergantung dari kegiatan di labolatorium, universitas, komunitas ilmiah, komitmen pemerintah dan pengusaha untuk menyediakan dana riset. “Itulah kunci kemajuan ilmu pengetahuan.”
Jika sebuah negara ingin maju dalam ilmu pengetahuan, ini rekomendasi yang disampaikan Denny JA, bukan memenuhi ruang publik dengan jargon, tapi majukan universitas, komunitas ilmu dan labolatorium.
Saatnya negara yang mayoritas Muslim kembali hijrah. Kembali ikut menjadi mercu suar kemajuan ilmu. Bukankah kini ilmu pengetahuan yang menjadi fondasi peradaban modern? Kasus vaksin covid-19 dapat menjadi pemicu.
Temuan Obat
Sayangnya, obat Covid-19 yang ditemukan oleh Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya, yang bekerja sama dengan Badan Intelegen Nasional (BIN) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang disebut sebut Denny JA dalam “meme”nya, adalah karya agung anak Bangsa untuk dunia dari Bumi Pertiwi dengan populasi penduduk Muslim 270 juta lebih, tidak pernah disebut-sebut oleh WHO dan nyaris tidak terdengar lagi hingga masuk era vaksinasi.
Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga Dr. Purwati, dr., Sp.PD, (Detakpos.com, 9/7/2020), menjelaskan, hasil temuan itu telah dilaporkan pada BIN selanjutnya ditindaklanjuti oleh BPOM dan Kementrian Kesehatan dan surat persetujuan pelaksanaan uji klinis secara nasional sudah dari Kepala BPOM ke Rektor UNAIR.
Purwati menjelaskan bahwa uji pertama yakni uji toksisitas apakah obat yang akan dipakai itu toksis atau tidak untuk sel tubuh kita. Kedua yakni meneliti potensi obat yang digunakan tersebut seberapa besar daya bunuhnya terhadap virus dan yang ketiga meneliti efektivitas obat sebesarapa besar dan berapa lama berefek terhadap penghambatan dan penurunan jumlah virus.
Hasilnya dapat diikuti bertahap dari 24 jam, 48 jam dan 72 jam jumlah virus berkurang hingga tidak terdeteksi (undetected).
Sayang, WHO tidak pernah mempublikasikan temuan ilmiah ini yang jauh sebelum temuan vaksin, sehingga peran ini dipandang sebelah mata, karyanya pun nyaris tidak terdengar lagi, dan luput dari telaah Denny JA.
Muda mudahan bukan karena diskriminasi dunia Barat yang diwakili WHO, sehingga peradaban negara negara berpenduduk Muslim tetap dituding terbelakang.
*) Penulis: Redaktur senior Detakpos.com