Menghambat Daerah, 51 Permendagri Dibatalkan

JakartaDetakpos-Mendagri Tjahjo Kumolo kembali menghapus 51 peraturan (Permendagri) yang menghambat. Dengan pembatalan tersebut, terbuka lebar peluang daerah untuk berkembang secara optimal.

Permendagri yang dihapus itu termasuk perizinan dan investasi di daerah yang menciptakan birokrasi panjang dan rumit.‘’Sesuai arahan Bapak Presiden, saya umumkan mencabut 51 Permendagri yang membuat jalur birokrasi menjadi panjang,’’ kata Tjahjo pada Rapat Kerja (Raker) Gubernur Seluruh Indonesia di Hotel Bidakara, Pancoran Jakarta Selatan, kemarin.

Permendagri yang dibatalkan itu mencakup bidang pemerintahan, kepegawaian, penanggulangan bencana, perpajakan serta telekomunikasi. Kemudian, bidang wawasan kebangsaaan, kepamongprajaan, perencanaan pembangunan dan tata ruang, serta perizinan penelitian.

Tjahjo berharap, setelah penghapusan Permendagri yang menghambat, daerah bisa membuat aturan/pedoman baru yang lebih mudah. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat mengembangkan daerahnya masingmasing secara lebih optimal.

”Tidak harus dibuat Pemerintah Pusat. Nanti bisa dibuat oleh daerah,” ujar Tjahjo.Meski demikian, Tjahjo juga mengingatkan, tidak membuat aturan atau Perda yang justru menghambat investasi.

”Sekarang kami tak punya kewenangan untuk perda. Untuk internal kami, saya korek-korek sudah ada 88 dan sudah beres 52. Sisanya akan terus (dicek),” terang Tjahjo.

Mendagri juga mencabut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMD). Pencabutan RPJMD bertujuan agar kepala desa fokus menggunakan anggaran desa yang telah dikucurkan berupa dana khusus terhadap desa dari Pemerintah Pusat.

Sebagaimana diberitakan upaya deregulasi sudah dilakukan Kemendagri. Pada 2016, 111 Permendagri telah dibatalkan. Dengan pembatalan 51 Permendagri tersebut, maka berarti sudah ada 162 Permendagri yang dicabut.

Selain itu, dalam rangka deregulasi, Mendagri juga telah mencabut dan membatalkan 1.500 perda yang menghambat. Khusus penelitian, Tjahjo juga mencabut Permendagri No 3 Tahun 2018 tentang Surat Keterangan Penelitian (SKP).

Peraturan mengenai riset dikembalikan ke aturan lama. ”Aturan baru akan dibuat dengan menyerap aspirasi berbagai kalangan, khususnya akademisi, lembaga penelitian, dan DPR secara mendalam,” tandas Tjahjo.

Aturan lama yang dimaksud adalah Permendagri Nomor 64 Tahun 2011 Jo Permendagri No 7 Tahun 2014 tentang Penerbitan Rekomendasi Penelitian. Aturan lama ini tidak mengenal SKP.

”Permendagri Nomor 64 Tahun 2011 serta perubahannya menyulitkan peneliti dalam proses mendapatkan rekomendasi penelitian mengingat proses mendapatkan rekomendasi penelitian yang berlapis,” terangnya di laman resminya.

Aturan No 3 Tahun 2018 dinilai memberikan kemudahan bagi peneliti tetapi dicabut karena masih perlu mendengar aspirasi dari pakar hingga DPR. Dalam Permendagri No 3 Tahun 2018, kewajiban mengantongi SKP dikecualikan untuk penelitian dalam rangka tugas akhir pendidikan sekolah di dalam negeri dan penelitian yang dilakukan pemerintah dengan pendanaan dari ABPN/APBD.(d2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *