Menteri LHK Jelaskan Posisi Reforma Agraria

Jakarta-Detakpos-Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Kamis (13/6), menjelaskan, dalam kawasan hutan redistribusi lahan berasal dari dua kelompok sumber lahan, yaitu sumber lahan hutan yang sudah dihuni atau sudah menjadi garapan atau wilayah transmigrasi.

“Ini telah diproses dengan Perpres 88 Tahun 2017 serta telah diselesaikan, diolah bersama pemerintah daerah dan untuk di distribusikan dengan peran pemerintah daerah baik provinsi maupun Kabupaten. Dalam hal ini sudah dilaksanakan seperti di Sijunjung Sumatera Barat,”kata Menteri Siti Nurbaya.

Progresnya saat ini kata Menteri LHK ini, telah mencapai sebanyak 820.113 hektare yang diteliti dalam tim inventarisasi dan verifikasi yang dipimpin oleh Kemenko Perekonomian.

Sumber lain yang dapat diberikan sebagai lahan dari hutan untuk diredistribusikan ialah kawasan hutan yang dapat dikonversi dan dinilai sudah tidak produktif atau tutupan hutan yang tipis dan diperkirakan merupakan potensi konflik juga, yang untuk ini telah direalisasikan dalam bentuk pencadangan SK bagi 21 Gubernur seluas 938.878 hektar.

Apa yang diperlukan selanjutnya? Dijelaskan Siti Nurbaya, dalam Reforma Agraria dari kawasan hutan, yang penting sebetulnya hal-hal berkenaan dengan rencana usaha hutan yang meliputi: Identitas pemohon selaku penanggung jawab dengan daftar subyek penerima TORA yang dilengkapi dengan Nomor Induk  Kependudukan dan  fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Pendistribusian untuk Program Pemanfaatan kawasan hutan bagi program pembangunan nasional dan daerah, pengembangan wilayah terpadu (area development), pertanian tanaman pangan (irigasi, reklamasi rawa);  perkebunan rakyat, perikanan, peternakan, ekowisata, wisata konservasi, agrowisata, sentra industri kecil/ lingkungan industri kecil, fasilitas pendukung budidaya pertanian, pemukiman/  resettlement/ pusat pemerintahan, fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Penyiapan ini oleh Pemda atau instansi atau individu pemohon diperlukan untuk memperoleh lahan yang dilepaskan dari hutan.
Instrumen lain yang penting papar Menteri Siti,  ialah identifikasi dan penetapan hutan adat. Dengan cara ini diproyeksikan terdapat 6.551.305 Ha potensi hutan adat yang diperoleh dari data partisipatif para aktivis dan diteliti bersama KLHK, untuk ditetapkan menjadi hutan adat.

Untuk ini membutuhkan dasar hukum identitas masyarakat hukum adat dengan PERDA, sesuai perintah UU 41/1999 dan PMK 35, sehingga untuk itu dilakukan terobosan dengan cara menetapkan hutan adat yang sudah dilengkapi dasar Perda serta sekaligus menegaskan wilayah indikatif hutan adat yang sudah di verifikasi dengan Keputusan Menteri.

” Ini perlu untuk kepentingan kekuatan hukum bagi masyarakat dan agar tidak lagi diganggu oleh atau untuk kepentingan lain, sehingga masyarakat bisa merasa secure,”tuturnya.

Instrumen lain ialah spontanitas uluran tangan dari dunia usaha, yaitu identifikasi wilayah konflik dalam areal konsesi dan mengeluarkan wilayah dari areal konsesi dengan cara addendum izin.

Tercatat sebanyak 13 perusahaan dengan addendum sebanyak lk 60 ribu hektar.  KLHK telah meneliti dan memproyeksikan wilayah konflik dan potensi konflik itu yang dirangkum dalam Tanah Obyek Reforma Agraria, sehingga sangat jelas bahwa konsep Reforma Agraria untuk menyelesaikan dan menjaga dari konflik telah sesuai dengan arahan Presiden dan Nawa Cita Jilid I.

Luasan sekitar 4,97 juta hektar yang telah direalisasikan pencadangan dan dialokasikan diantaranya kepada Gubernur mencakup areal untuk pemukiman dan untuk kegiatan masyarakat dalam usaha mata pencaharian.

Bila diteliti secara mendetil dengan analisis citra resolusi tinggi maka sebetulnya khusus areal pemukiman dengan dwelling unit secara nasional tercatat seluas sekitar 123 ribu hektar dan khusus di Jawa sekitar 42 ribu Hektare. Dengan demikian maka optimis masalah konflik  tenurial kawasan hutan diselesaikan.(dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *