Dari Wanita Bergeser ke Bomber Anak Anak

Analisis Berita: Oleh AAdib Hambali(*)

KASUS bom Surabaya, Sidoarjo dan Poltabes membuktikan, ruang gerak pelaku teror masih longgar. Wajar jika aksi terorisme di Indonesia saat ini mengkhawatirkan. Apalagi trend teror ini melibatkan anak anak sebagai pelaku atau bomber. Bukti gerakan terorisme terus mengalami pergeseran.

Bentuk rekrutmen “pengantin” pun juga terus bergeser. Masyarakat perlu mengetahui pergeseran modus ini agar upaya pencegahan dilakukan secara dini. Ada modus perkawinan, MNS menikahi Dian Yulia Novi yang baru dikenal tiga bulan lewat media sosial di Bekasi.

Terus melalui patronase guru. Penyusupan rekrutmen pelaku teror karena mentoring menjadi radikalis apalagi teroris cukup efektif melalui patronase guru. Anak mudah  terpengaruh mengikuti, mengingat guru sebagai sosok yang perlu digugu dan ditiru.

Infiltrasi terorisme melalui institusi keluarga. Modus melalui proses pengasuhan tidak mudah dideteksi,  karena terjadi pada ruang-ruang tak terpantau oleh orang sekitar. Modus ini juga terjadi di Surabaya, Poltabes, Rusunawa Sidoarjo, Kabupaten Toli Toli, Samarinda Kaltim, Medan Sumatera Utara dan sejumlah daerah lain.

Pola pelibatan anak dalam jaringan terorisme terjadi di berbagai tingkatan. Di Kelompok eksekutor, mereka terlibat aktif di lapangan melakukan aksi teror. Berikutnya kelompok perencana dan pengatur lapangan. Kelompok ini memilih waktu, lokasi dan momentum yang dianggap tepat dalam melakukan aksi.

Dalam sejumlah kasus, anak juga dilibatkan dalam perencanaan sebelum melakukan aksi. Kelompok mentor berperan mencari dan melakukan pembibitan kader teroris. Infiltrasi biasanya dilakukan melalui berbagai pendekatan, termasuk melalui satuan pendidikan.

Mentor utama, juga memanfaatkan anak dan remaja untuk melakukan mentoring kelompok sebaya.Keempat, kelompok penyandang dana seringkali tidak terdeteksi, namun berkontribusi besar terhadap aksi teror yang dilakukan.

Di kelompok simpatisan ini tidak terlibat aktif, melakukan aksi teror, namun memberikan dukungan moral terhadap aktivitas yang dilakukan oleh jaringan terorisme.Mencermati indoktrinasi terorisme dengan sasaran usia anak, output dari indoktrinasi yang dilakukan jaringan teror biasanya tidak langsung mengarah pada direct violence agar anak terlibat dalam aksi bom, namun pada tahap tertentu, anak juga terlibat menebarkan ekspresi kebencian, di antaranya; kebencian terhadap pemerintah, terhadap aparat negara, terhadap sistem negara serta terhadap kelompok lain yang tidak sefaham.

Terkait maraknya pelibatan anak dalam kejahatan terorisme, Ketua Komisi Perlindungan Anak  (KPAI) Susanto merekomendasikan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu melakukan langkah langkah antisipatif dan pencegahan secara masif melalui berbagai model pendekatan, agar ruang gerak jaringan terorisme dapat dicegah sedini mungkin.(detakpos, 18/5/2018).

Mengingat trend indoktrinasi radikalisme dan terorisme saat ini menyasar keluarga, maka Pemerintah daerah perlu melakukan inovasi pendidikan pengasuhan kepada calon pengantin dan semua kelompok pasangan agar mengembangkan pengasuhan yang positif, penuh kasih sayang dan tanpa radikalisme.(*)Redaktur senior Detakpos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *