Di Bawah Kepentingan Tertentu, Islam Bisa Jadi Cuma Komoditas

JakartaDetakpos-Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menjelaskan, pada dasarnya Islam adalah nilai-nilai universal. Kemudian turun menjadi doktrin ajaran, lalu melahirkan para pengikut atau komunitas.

Dari komunitas, ia bisa turun lagi menjadi komoditas akibat kepentingan tertentu yang melingkupinya.

Kiai Said menyampaikan hal tersebut saat membuka peluncuran dan diskusi buku NU Penjaga NKRI di Gedung PBNU Lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Selasa (10/4) sore.

Menurutnya, di level komoditas inilah Islam rawan dipolitisasi dan diperjualbelikan.

Ia mengatakan, Nahdlatul Ulama berkomitmen akan mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.

Berani menyuarakan apa adanya meski dengan risiko dimusui kelompok lain. Islam, katanya, mengenalkan konsep ummatan wasathan yang ia terjemahkan sebagai Islam yang moderat, moderat, dan beradab.

“Istilah ummatan Islamiyyatan justru tidak ada (dalam Al-Qur’an), tapi adanya ummatan wasathan,” katanya.

Guru besar tasawuf UIN Sunan Ampel ini mengacu pada kutipan Surat al-Baqarah ayat 143 yang artinya: “Dan demikian Kami menjadikan kalian ummatan  wasathan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi  saksi atas (perbuatan) kamu…”


Hadir pula dalam diskusi tersebut Romo Antonius Benny Susetyo, peneliti LIPI Amin Mudzakir, pengamat ekstremisme Imdadun Rahmat, dan politisi muda Tsamara Amany.

Melompat dari Politik Identitas


Benny mengatakan, NU selalu hadir di mana-mana, tetapi tidak ke mana-mana. Orang NU bisa menyatu dengan segala lapisan. Dari situlah, lanjutnya, muncul relasi yang baik. Ada suatu kepercayaan yang wujudnya adalah masyarakat NU tidak membeda-bedakan.


Di Sampit, Madura, misalnya, tidak pernah muncul stigma negatif atas bantuan Katolik. Warga di sana tidak menuduh adanya kristenisasi di balik itu. Dari fakta ini, ia menilai orang NU dalam beriman sudah melompat dari politik identitas menuju penghayatan kemanusiaan.

“Dari kemanusiaan itulah orang tidak lagi membedakan suku, identitas,” katanya.


Di tengah kegersangan yang melanda negara ini, NU berdiri menjadi oase. NU menjadi penyejuk dengan merangkul semua elemen dan kalangan. Hal inilah yang menurut pria kelahiran Malang 50 tahun silam itu menjadi sebab NU sebagai pusat peradaban.


“Bangsa ini berutang terhadap NU,” kata alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang itu.

Romo Benny menguraikan, setidaknya ada dua kesetiaan NU. Pertama, NU konsisten berpandangan bahwa NKRI adalah negara kebangsaan, bukan negara berdasar agama tertentu.Kedua, NU setia mengembalikan Pancasila kepada rel yang benar. Dari sinilah, NU selalu ada pada setiap krisis yang melanda bangsa ini.(d2)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *