Diduga Depresi Akibat PJJ Daring, Siswi di Tangerang Tewas

JakartaDetakpos.com-KPAI menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya seorang peserta didik di Kabupaten Tangerang berinisial ST, siswi SMAN kelas 12. Ananda sempat dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Tangerang, dan kemudian dirujuk ke RSJ Grogol (Jakarta Barat), karena diduga mengalami depresi.

Pihak keluarga menduga ST depresi karena banyaknya tugas belajar daring selama pandemi covid 19. Menurut sang ayah, selama pandemi covid 19, putrinya disibukan dengan tugas-tugas sekolah secara online. Ia melihat, waktu anaknya tersita dengan pola belajar online.

Jika keterangan yang diberikan orangtua terkait Depresi sang anak karena PJJ daring valid dan benar, maka kematian anak selama PJJ di masa Pandemi sudah mencapai 4 anak, yaitu siswi SDN (8 tahun) yang tewas karena kerap dianiaya orangtuanya karena sulit diajarkan PJJ daring, siswi SMAN di Gowa (Sulsel) dan siswa MTs di Tarakan (Kalimantan Utara) yang bunuh diri karena diduga depresi akibat PJJ, meski faktor bunuh diri seorang anak tidak pernah tunggal.

Pantauan PJJ

Dari hasil pemantauan terhadap pelaksanaan PJJ Fase pertama yang hanya berlangsung dari Maret-Juni 2020, peserta didik cenderung mampu mengatasi tekanan psikologis karena pembelajaran tatap muka (PTM) sempat dilakukan selama 9 bulan. Selain itu, guru mata pelajaran, wali kelas dan teman-teman satu kelasnya masih sama dan mereka sudah sempat komunikasi aktif sebelumnya, sehingga sudah saling mengenal dan bisa saling membantu.

“Namun hasil pemantauan pada PJJ Fase kedua, anak-anak lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis, sehingga berpengaruh pada kesehatan mental seorang anak/remaja. Karena pada fase 2 ini, anak naik kelas dengan situasi yang berubah, wali kelasnya ganti, guru mata pelajarannya berbeda, dan kemungkinan besar kawan—kawan sekelasnya juga berbeda dari kelas sebelumnya. Sementara peserta didik belum pembelajaran tatap muka sejak naik kelas,” urai Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan.

Retno menambahkan, “Pergantian kelas dengan suasana yang baru tanpa tatap muka, membuat anak-sanak sulit memiliki teman dekat untuk saling berbagi dan bertanya. Akibatnya, kesulitan pembelajaran ditanggung anak sendiri jika anak tersebut tidak berani bertanya kepada gurunya”.

Masalah ketidakmerataan akses terhadap fasilitas pendukung untuk pembelajaran daring maupun luring yang dialami pada anak yang sudah masuk usia sekolah, berdampaknya peserta didik harus mempunyai sistem belajar sendiri, akibatnya ada anak tidak bisa mengatur waktu belajar, ada anak yang kesulitan memahami pelajaran, bahkan ada anak tidak memahami instruksi guru.

Tidak dapat dipungkiri, pandemi ini juga dapat berdampak kepada aspek psikososial dari anak dan remaja di antaranya adalah perasaan bosan karena harus tinggal di rumah, khawatir tertinggal pelajaran, timbul perasaan tidak aman, merasa takut karena terkena penyakit, merindukan teman-teman, dan khawatir tentang penghasilan orangtua.

Orangtua juga bisa menjadi penguat anak, sekaligus bisa menjadi sumber masalah bagi anak-anaknya, misalnya munculnya kekerasan pada anak secara emosional karena tidak memiliki kesabaran mendampingi anak belajar. Diantaranya kekerasan verbal seperti merendahkan kemampuan anak dalam belajar, dan atau menerapkan pola mendisiplinkan anak yang tidak tepat seperti memberikan hukuman dan sanksi yang dianggap bagi sebagian orang tua justru akan membangkitkan semangat pada anak. Padahal, justru sebaliknya, menimbulkan tekanan psikologis bagi anak.

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan harus memiliki peran penting dalam membantu masyarakat, orang tua maupun anak untuk memahami apakah dia terdampak secara psikologis. Gejala-gejala umum seperti menurunnya semangat untuk menjalankan aktivitas, mudah marah, dan cepat kehilangan konsentrasi itu memang normal namun tetap harus diperhatikan jika terjadi secara berkepanjangan.

“Kementerian Kesehatan dan Dinas-dinas Kesehatan di daerah harus bersinergi dengan Dinas-dinas Pendidikan Kantor Kemnterian agama di Kabupaten/kota maupun provinsi untuk ikut bantu membina kesehatan mental peserta didik,”ujar Retno.

Upaya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam menangani isu kesehatan jiwa anak dan remaja selama masa pandemi adalah dengan membuat regulasi yang menitikberatkan arah dari setiap kebijakan pada terwujudnya masyarakat yang peduli pada kesehatan jiwa.

“Seberapa efektif upaya ini sampai di sasarannya perlu dilakukan monitoring dan evaluasi pasca tewasnya seorang siswi SD karena dianiaya orangtua saat sulit diajari PJJ dan kasus bunuh dirinya suiswa MTs di Kota Tarakan dan siswi SMAN di Kabupaten Gowa,” pungkas Retno. (d/2).

Editor: AAdib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *