Gubernur Diminta Akui Masyarakat Jadi Pengelola

JakartaKoalisi Selamatkan Pulau Pari mendesak Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan juga perlu melakukan langkah menyelesaikan permasalahan warga Pulau Pari, salah satunya memberikan pengakuan dan perlindungan atas pengelolaan pariwisata pantai oleh masyarakat

Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata juga meminta Anies
mengambil tindakan untuk mengatasi perampasan tanah berkedok kriminalisasi serta

Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk mencabut sertifikat-sertifikat milik perorangan maupun korporasi di Pulau Pari yang terbit pada 2014-2015.

Menurut Marthin,  hal ini harus segera dilakukan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara membebaskan Sulaiman bin Hanafi alias Katur pada 13 November 2018 tempo hari.

Pengadilan telah dua kali memenangkan nelayan Pulau Pari, sebelumnya 3 orang nelayan yang mengelola pariwisata swakelola diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.

Sebelumnya, ketiga orang tersebut dinyatakan bersalah dan harus mendekam selama lima bulan di penjara.

Selasa (13/11), Sulaiman diputus “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” melakukan tindak pidana menyewakan tanah (Pasal 385 ke-4 KUHP) atau memasuki pekarangan (Pasal 167 ayat (1) ke-1 KUHP) milik Pintarso Adijanto.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menilai unsur melawan hukum tidak terbukti.

Bulan lalu, Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bahrudin alias Edo juga diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta karena tidak terbukti melakukan pemerasan sebesar Rp. 5.000,- karena mengutip kontribusi masuk pantai pasir perawan di Pulau Pari.

“Vonis bebas tersebut merupakan angin segar bagi perjuangan warga Pulau Pari yang terancam terusir dari tanah kelahirannya karena tiba-tiba muncul sertifikat-sertifikat atas nama perorangan maupun korporasi pada 2014-2015,”tutur Marthin dalam rilisnta hari ini.

Warga kemudian melakukan penolakan-penolakan hingga diduga terjadilah kriminalisasi terhadap aktor-aktor vokal di level warga seperti Sulaiman, dkk.

Kriminalisasi terhadap Sulaiman sendiri merupakan kriminalisasi jilid III setelah sebelumnya Boby, dkk. (kriminalisasi jilid II), dan Edi Priadi (kriminalisasi jilid I) yang mendekam di penjara karena dituduh menyerobot tanah milik PT. Bumi Pari Asri, padahal ia telah tinggal sejak tahun 1999 dan sertifikat baru keluar tahun 2015.

Namun, kriminalisasi “belum selesai”. Diperkirakan masih akan ada ancaman kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan kepada warga. Sahrul Ketua Forum Perduli Pulau Pari (FP3) masih diperiksa dan statusnya “mengambang” sebagai saksi.

Di sisi lain, perempuan juga mendapat ancaman, intimidasi dan dituduh menyerobot tanah serta disomasi dengan ancaman pidana oleh perusahaan.

Menurut Marthin,  semua pemeriksaan maupun somasi didasarkan pada sertifikat-sertifikat yang muncul tiba-tiba tahun 2014-2015 yang mencapai 90 persen dari luas Pulau Pari.

Sertifikat-sertifikat tersebut telah dimentahkan oleh Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang telah menyatakan 62
Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) di Pulau Pari maladministrasi.

Semua sertifikat muncul tanpa adanya pengukuran tanah sebagaimana wajib berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Padahal, secara nyata tanah tersebut sudah lama dimiliki dan ditempati secara efektif oleh warga Pulau Pari. (dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *