Jakarta – Detakpos – Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia mengadakan diskusi tematik dengan tema “Membedah Persoalan dan Rekomendasi Solusi Kedaulatan Indonesia di Darat, Laut dan Angkasa”.
Dengan nara sumber Harry P. Haryono (Mantan Duta Besar Portugal/ Pakar Hukum dan Perjanjian Internasional), Ir. Supono A, SE.MM. IPU., (Pakar Pengaturan Operasional Angkasa) dan Manaek Tua Hutabarat, SE. MSi. S.Kom (Ketua Bidang Sumber Daya Agraria DPN ISRI/Praktisi Pertanahan) yang di moderator oleh Rikky Affandi (Redaktur Senior D’News).
Dalam paparannya mengenai kedaulatan di darat Manaek Tua menawarkan beberapa solusi antara lain
Pertama, Solusi diperbatasan adalah memastikan posisi perbatasan darat dengan malaysia sepanjang pulau Kalimantan.
Kemudian lakukan landreform dengan prioritas subyek landreform adalah penduduk setempat yang tak memiliki tanah ditambah rakyat daerah lain.
Setelah tanah dimiliki rakyat dilanjutkan akses reform berupa pembangunan jalan perbatasan menghubungkan loaksi landreform yang gunanya untuk mobilitas orang dan barang(hasil panen), akses modal oleh lembaga perbankan, pupuk dan asistensi terhadap tanaman masyarakat oleh kementerian pertanian.
Rakyat menjadi pagar terdepan diperbatasan dan tidak lagi berpihak kepada Malaysia;Kedua, Semua pulau-pulau terluar dilakukan landreform sekaligus menguatkan hak rakyat disana agar tak mudah diklaim asing.
Maka secara otomatis orang asing dan perusahaan dijauhkan dari kepemilikan pulau-pulau tersebut agar kedulatan di darat tak terganggu; Ketiga, Evaluasi pemberian HGU dan moratorium pemberian HGU baru kepada perusahaan perkebunan swasta.
Semua SK HGU direvisi dengan memberikan akses control Negara atas kegiatan mereka di sana;
Keempat, Menutup semua fasilitas asing diwilayah NKRI seperti di NAMRU;Kelima, Stop perpanjangan kontrak Freeport dan secara berdikari dikelola anak bangsa.
Lain halnya Harry P Haryono yang lebih banyak memaparkan mengenai kedaulatan nasional di laut, memaparkan bahwa Deklarasi Djuanda yang diikuti UU No 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia semula tidak diterima oleh masyarakat Internasional khususnya negara maritim besar dan Malaysia.
Namun melalui diplomasi yang dilakukan oleh Delegasi RI di dalam Konperensi PBB tentang Hukum Laut itulah akhirnya Prinsip Negara Kepulauan dapat diterima dan dimasukkan sebagai Bab IV (Pasal 46 sd 53).
Selain itu harry menyampaikan bagaimanapun juga Indoneia telah mampu menyelaraskan UU No 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia sesuai hukum internasional baru, yaitu UNCLOS 1982 khususnya Bab IV dgn mengundangkan UU no 6 th 1996 tentang Perairan Indonesia dan Indonesia sudah mengembang kan hukum nasionalnya dengan implementasikan UNCLOS 1982 melalui UU no 5 th 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
Namun demikian Indonesia hingga kini belum mengubah UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen sesuai dengan Bab VI UNCLOS 1982 (Pasal 76 sd 85), disisilain pada UNCLOS 1982, Indonesia sudah menandatangani Persetujuan tentang Implementasi Bab XI UNCLOS 1982 dan meratifikasinya dengan Keputusan Presiden no 178 th 1999 dan International Maritime Organization memutuskan usulan Indonesia tentang penetapan 3 Alur Laut Kepulauan dalam sidangnya th 1999.
Dalam kesimpulan pembayarannya Harry menyampaikan bahwa UNCLOS 1982 sangat penting bagi Indonesia bukan hanya mengenai pengakuan atas Negara Kepulauan Indonesia namun juga memberikan kepada Indonesia untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati dan nonhayati dalam perairan di dalam yurisdiksi Indonesia untuk kesejahteraan rakyatnya, khususnya di dalam Perairan Kepulauan, ZEE dan Landas Kontinen.
Untuk itulah Pemerintah RI perlu mengatur dgn cara yang paling baik dan menguntungkan dari manfaat ini dan melindungi Negara Kesatuan RI yang telah diakui oleh masyarakat internasional.
Sedangkan Ir. Supono yang memaparkan kedaulatan di Angkasa dalam kesimpulan yang menyampaikan, pertama Status wilayah udara nasional hanya ditentukan Luas Horinzontal Wilayah Kedaulatan Negara di Udara. Tidak ada lintas damai bagi setiap negara kecuali dengan perjanjian.
Sedangkan luas vertikal wilayah angkasa luar bersifat “Open Sky” untuk semua negara. Kedua, Kedaulatan Republik Indonesai atas wilayah udara nasional secara vertikal meliputi seluruh wilayah udara di atas wilayah teritorial Indonesia yang meliputi ruang udara di atas daratan, di atas peraiaran pedalaman, dai atas laut teritorial, dan di atas perairan kepulauan.
Ketiga, Pengaturan keselamatan penerbangan di wilayah udara Nasional diatur oleh peraturan-peratauran yang dikeluarkan ICAO dan Peraturan Pemerintah Indonesia telah disesuaikan.
Keempat, Pemanfaatan Ruang Udara telah menjadi penggerak entrepreneurship bangsa Indonesia dalam pencapaian sebesar-besarnya kesejahteraan Rakyat Indonesia dengan tumbuhnya industri kedirgantaraan di mana Indonesia telah menjadi salah satu produsen negara produsen pesawat terbang dan komponen-komponennya.
Kelima, Sebagai negara berdaulat atas wilayah udaranya, Indonesia saat sedang menjalankan proses alih pengawasan wilayah udara di atas Riau Daratan dan Kalimnatan Barat dari Singapore.
Dalam Diskusi tersebut juga ada tiga hal yang menjadi sorotan yaitu Mengenai Perubahan UU Landas Kontinen, Pembentukan Badan Frekuensi Udara di bawah Presiden untuk memperkuat kedaulatan di Angkasa, Pembentuk UU segera menyelesaikan RUU Zona Tambahan dan Penguatan BNPP sebagaimana operasional Pankorwilnas dalam menjaga kedaulatan dan garis batas dan/atau koordinat kedaulatan Indonesia. (*)