Jokowi Perlu Bentuk Utusan Khusus ke Papua  

JakartaDetakpos-Penyikapan pemerintah atas menguatnya rasisme terhadap warga Papua dan aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat, menggambarkan ketidakmampuan (unable) atau keengganan (unwilling) untuk memahami Papua secara utuh dan mengatasi persoalan secara mendasar.

“Anjuran bersabar dan saling memaafkan serta seremoni pertemuan elite daerah bisa saja mendinginkan suasana dan membangun kondusivitas sementara di Papua,” kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute
Ikhsan Yosarie di Jakarta, Rabu ,(21/8).

Tetapi, lanjut dia, sepanjang persoalan mendasar Papua tidak di atasi, seperti ketidakadilan politik, ekonomi, sosial, dan klaritas sejarah integrasi Papua yang masih dipersoalkan sebagian warga Papua, maka potensi kekerasan, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan akan terus dialami warga Papua.

Rencana Menkopulhukam, Wiranto (20/8), untuk menambah pasukan TNI/Polri adalah gambaran kekeliruan dalam memahami Papua, yang justru berpotensi membuat kondisi semakin tidak kondusif.
“Perspektif keamanan dan stabilitas negara yang dikedepankan pemerintah merupakan bentuk upaya pemantapan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan yang membatasi kebebasan warga,” kata Ikhsan Yosarie.

Pilihan melindungi obyek vital negara dibanding melindungi hak asasi warga Papua sama sekali tidak menunjukkan upaya pengutamaan keamanan manusia (human security).

“Rasisme dan stereotip pemberontak yang mengendap di kepala para pejabat sangatlah destruktif, sehingga upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pemulihan seharusnya berbasis pada keamanan manusia (human security), baik dari segi perspektif, pendekatan maupun praksis penyikapan.

Dalam human security, menurut dia, subjek atas keamanan bukan semata-mata negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented), yang ditujukan untuk memastikan pemenuhan HAM, rasa aman dan keamanan warga Papua.

SETARA Institute mendorong Presiden Jokowi untuk meretas politik rekognisi kemanusiaan dan politik bagi warga Papua sebagai basis penanganan Papua secara holistik.

“Langkah ini bisa dimulai dengan membentuk dan mengutus Utusan Khusus Presiden (special envoy) ke Papua untuk membangun komunikasi konstruktif membangun sikap saling percaya dan memahami (mutual understanding) sebagai basis dialog Jakarta-Papua.”

Jalan dialog, menurut dia, akan mengurangi konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM), sekaligus meletakkan warga Papua sebagai subyek utama pengutamaan keadilan pembangunan berkelanjutan.(d/2).

A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *