Ketika Reuni 212 Kehilangan Momentum

Analisis Berita: Oleh AAdib Hambali (*)

MASSA dari berbagai ormas Islam kembali berkumpul memperingati Aksi Bela Islam pada 2 Desember 2017, yang dikenal Reuni Aksi 212.  Aksi ini diklaim sebagai bentuk ‘reuni akbar’ bagi mereka yang kala itu berjuang menuntut mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjara karena meninsta agama Islam.

Sebagian pihak mungkin sepakat dengan hal tersebut, sebagian lain tidak. Mereka yang tidak sepakat melihat aksi 212 itu beraroma politik karena dilakukan di tengah Pilkada DKI, saat Ahok-sapaan Basuki sebagai salah satu peserta.

Ia kembali mencalonkan diri sebagai Gubenur DKI untuk periode 2017-2022. Mereka semakin yakin ketika Ahok kalah telak saat proses penghitungan suara. Kepercayaan diri itu bertambah ketika Ahok di penjara sebelum masa jabatan berakhir.Reuni Akbar 212 tidak lebih merupakan cara untuk menjaga tren gerakan politik yang dibangun oleh sejumlah pihak.

Mereka berusaha menjaga massa untuk kepentingan politik jangka panjang. Setidaknya itu senada dengan analisa Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menyebut, Reuni Akbar 212 berkaitan dengan politik, terutama terkait Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019.

Mereka mau membangun dan mengembangkan tren. Mau  mencoba dirangkai setelah berhasil di Jakarta.Tidak ada momentum di balik Reuni Akbar 212. Momentum sudah hilang ketika Ahok kalah di Pilkada dan dipenjara karena bersalah telah menista agama.

”Kini pasca Ahok, mulai disorientasi karena tidak punya isu yang kuat untuk konsolidasi lebih lanjut,”ujar Direktur Pusat Kajian Survei Opini Publik Ziyad Falahi. Pengamat jebolan UI dan Unair itu pun menilai reuni tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya musuh bersama (common enemy).

Tidak berlebihan jika ada pandangan Reuni Akbar 212 sebagai cara untuk menjaga tren. Seberapa besar aksi tersebut mendapat respons dari elite politik. Jika mendapat banya respons positif, maka tidak dipungkiri aksi tersebut bermuatan politik.

Selain itu juga melihat  seberapa besar aksi tersebut mendapat perhatian masyarakat.Kalau melihat alurnya, dengan jumlah massa yang tidak signifikan maka political attention-nya tidak terlalu besar. Jika diukur satu sampai sepuluh, mungkin dua sampai tiga.

Selain itu yakni terkait dengan opini dan sentimen apa yang di bangun oleh massa aksi Reuni Akbar 212. Jika sentimen agama kembali dimunculkan, maka agenda politik di balik aksi itu tidak dapat dipungkiri.Sejumlah analis nenilai Reuni Akbar 212 tak ubahnya sebagai sebuah resepsi karena digelar secara formal melaui undangan.

Cara itu telah menghilangkan esensi gerakan di mana suluruh perserta terlibat atas inisiatif.Jadi kalau kita membayangkan seperti aksi tahun lalu momentumnya sudah hilang. Mereka hanya menciptakan tren.

Dalam pidatonya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta Alumni 212 turut mendoakan Presiden sebagai pemimpin yang amanah. “Kita doakan Presiden, doakan Wakil Presiden, dan para menteri. Kita doakan pemegang keamanan negeri ini, panglima, kapolri, pemimpin di MPR, DPR, DPD. Kita doakan mereka semua menjadi pemimpin yang amanah,” demikian Anies.

Walaupun dinilai politis, Anies juga menyatakan Reuni 212 adalah gerakan yang damai. Ziyad menilai reuni tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya musuh bersama (common enemy). Umat tidak butuh figur seperti Anies atau  Prabowo.

”Terlihat bagaimana sejarah Timur Tengah babak belur karena terlalu mengandalkan figur,'”tutur Ziyad. Pesona Anies akan terdelegitimasi virus efek jenuh sebelum Pilpres 2019, jika gagal merealisasikan rimah DP nol rupiah.(*)

* Redaktur senior di Bojonegoro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *