Kisah Haji Mabrur Tukang Sepatu

Opini Oleh H Adib Hambali. (*)

SEKITAR 1.080 Jamaah haji asal Bojonegoro, Jawa Timur, telah menjalani puncak haji, yaitu wukuf di Arafah. Artinya bersamaan jutaan  jamaah dari penjuru dunia,  mereka telah melaksakan  rukun Islam kelima. 

Mudah-mudahan mereka memperoleh haji mabrur. Hanya Allah SWT yang mengetahui  kemabruran haji seseorang. Namun kita bisa menelaah dari kisah-kisah orang sufi dalam kitab kuning.

Alkisah, setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, Abdullah bin al-Mubarak tertidur. Dalam bermimpi dia mendengarkan percakapan dua malaikat yang turun dari langit. ”Berapa banyak yang datang (menunaikan ibadah haji) tahun ini?” tanya malaikat kepada ”rekannya” tersebut. ”Sekitar 600 ribu.” ”Berapa banyak dari mereka yang ibadah hajinya diterima.” ”Tidak ada satu pun.”

Percakapan ini membuat Abdullah gemetar dan menangis di dalam mimpi.”Semua orang itu datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, tapi semua usaha mereka sia-sia,” pikirnya dalam mimpi.

Malaikat tadi melanjutkan bicaranya, ”Tapi ada seorang tukang sepatu dari Damaskus yang dipanggil Ali bin Mowaffaq. Dia tidak datang beribadah haji tapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya diampuni- Nya.

”Setelah terjaga, Abdullah berkata pada dirinya sendiri,” Malaikat itu berbicara nyata dalam mimpiku. Penguasa kerajaan surga adalah benar dalam keputusan- Nya.”

Dia pun memutuskan pergi ke Damaskus menjumpai orang yang diceritakan malaikat tadi. ”Jadi, aku ke Damaskus dan menemukan tempat ia tinggal. Aku menyapanya ketika ia keluar dari rumahnya.Siapakah namamu dan pekerjaan apa yang kau lakukan?”

”Aku Ali bin Mowaffaq, penjual sepatu,” jawab seorang pria sambil berdiri di pintu. Abdullah pun menangis dan jatuh pingsan. Ketika Abdullah siuman, Ali si pedagang sepatu pun menceritakan dirinya.

Selama 40 tahun dirinya merindu-rindu bisa menunaikan ibadah haji. Ia telah menyisihkan 350 dirham hasil berjualan sepatu dan memutuskan akan ke Makkah. Ali melanjutkan tuturannya, ”Tapi suatu hari, istriku mencium aroma makanan yang dimasak tetangga sebelah, dan memohon agar ia yang lagi mengandung bisa mencicipi sedikit.

Aku pergi ke sebelah, mengetuk pintu kemudian menjelaskan situasinya. Tetanggaku itu menangis, katanya sudah tiga hari ini anaknya tidak makan apa-apa. Dia bilang, hari ini aku melihat keledai mati tergeletak dan aku memotongnya lalu memasak untuk mereka (anaknya-Red). Ini bukan makanan halal bagimu,” kata Ali sambil menatap Abdullah.

Abdullah serasa terbakar hatinya mendengar penuturan seperti itu, lalu ia mengambil 350 dirham yang disimpan di kantong, memberikannya kepada Ali seraya berucap,” Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah uang perjalanan hajiku.”

Kisah itu kian memperjelas bahwa substansi ibadah haji juga mencakup kepedulian terhadap sesama, sebagaimana ditunjukkan Ali yang meraih haji mabrur dan diampuni dosanya meski ”hanya” baru berniat, itu pun ”batal” karena uang untuk pergi haji diberikan ke tetangga yang mengalami kesempitan.

Padahal ia belum pernah berhaji dan ingin sekali pergi. Hal itu perlu menjadi renungan kembali, sejalan pernah disarankan Menag Lukman Hakim Sjaifuddin supaya ada peraturan pengaturan orang berhaji jika berstatus sunah berhaji lebih dari satu kali.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin, di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk).

Memedomani kaidah usul fikih, amal berkesinambungan itu lebih utama ketimbang amal yang manfaatnya terhenti pada pribadi. Tokoh agama, kiai, MUI perlu memberikan pencerahan kepada umat bahwa kewajiban berhaji itu cukup sekali seperti diwajibkan sya’i.

Akan lebih baik jika dana untuk berhaji kali kedua dan seterusnya itu diberikan kepada fakir miskin atau beramal sosial sebagai amal jariyah yang manfaat dan pahalanya berkesinambungan.

Andai jumlah mereka yang berhaji lebih dari sekali itu delapan  ribu orang, dengan asumsi biaya perjalanan haji (BPIH) Rp 30 juta maka bisa terkumpul sekitar Rp 240 miliar. Ketika uang itu didepositokan, pada akhir tahun bertambah 10 persen.

Mencontoh kisah tukang sepatu yang memperoleh haji mabrur karena kepedulian terhadap nasib tetangga yang miskin, seberapa besar manfaat dana itu bila untuk ibadah pribadi dibanding ibadah sosial yang berpahala berkesinambungan.

Alih-alih memberi kesempatan kepada mereka yang lama antre, di sejumlah daerah, nunggu 10 hingga 20 tahun untuk kali pertama ibadah haji yang berhukum wajib. ” Wallahu A’lam bisshawab.’

(*):Penulis Wakil Rais Syuriah MWCNU Dander

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *