Narkoba dan Krisis Kebangsaan Hantui Generasi Milenial

Analisis Oleh: A Adib Hambali

SETIAP tanggal 2 Mei, Bangsa Indonesia memperingati hari penting, yaitu ”Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tahun ini peringatan jatuh pada hari Rabu 2 Mei 2018. Alangkah baiknya sejenak sebelumnya mencatat capaian prestasi, perlu juga melawan lupa terhadap ancaman yang menghantui dunia pendidikan kita.

Tujuan pendidikan dilaksanakan untuk membentuk generasi yang memiliki bekal moral, intelektual dan kapasitas bagi kepentingan dirinya, bangsa dan negara. Sejumlah prestasi pendidikan telah banyak diraih oleh generasi bangsa ini.

Namun demikian, perlu menjadi perhatian bahwa akhir-akhir ini untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dunia pendidikan menghadapi tantangan yang semakin berat. Setidaknya yang perlu mendapat perhatian adalah keprihatinan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) Juri Ardiantoro.

Dalam rilis (1/5),  di antaranya mengingatkan, setidaknya ada ancaman serius dan sangat mengkhawatirkan bagi diri anak didik, pelajar, mahasiswa, dan generasi muda, yakni ancaman bahaya narkoba dan krisis kebangsaan.

Terhadap ancaman narkoba ini, pendidikan diklaim memiliki peranan dalam mengatasi penyalahgunaan narkoba. Setidaknya, menurut data Puslitkes UI dan BNN (2016), terdapat sekitar 27,32 persen pengguna narkoba di berasal dari kelompok pelajar dan mahasiswa.

Kekhawatiran ini menjadi semkain bertambah karena menurut info Badan Narkotika Nasional (BNN), berdasarkan data yang dikeluarkan dalam World Drugs Report 2016, sejak 2008 sampai 2015 telah terindikasi sebanyak 644 total NPS (new psychoactive substances) yang dilaporkan oleh 102 negara dan 65 jenis baru ini telah masuk ke Indonesia.

Berikutnya, adalah krisis kebangsaan. Survei Alvara Research Center (2018) menemukan ada sebagian milenial atau generasi yang lahir akhir 1980-an dan awal 1990-an, setuju pada konsep khilafah sebagai bentuk negara.

Survei dilakukan terhadap 4.200 milenial (1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia).  Mayoritas milenial memang memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara. Namun ada 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar yang setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara.

Sebelumnya, survei Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2017 memperoleh data sebanyak 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.

Angka-angka persentase pelajar dan mahasiswa memang sebagian kecil dari keseluruhan, tapi tidak boleh dibaca jumlah yang kecil. Demikian Juri Ardiantoro mengingatkan.

Bahkan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tentang pengajaran agama yang tidak sewajarnya menunjukkan hasil mencengangkang. Radikalisme, salah satu wujud pengajaran agama dimaksud sudah ditemukan menyusup masuk ke pendidikan anak usia dini.

Kepala Subdirektorat Fasilitas Antarlembaga Kemendagri, L. Salman Al Farisi, saat menjadi pemateri di kegiatan Penguatan Aparatur Kelurahan dan Desa dalam Pencegahan Terorisme di Indralaya, Sumatera Selatan, Rabu (25/4).

Lingkup penelitian adalah sekolah-sekolah di bawah yayasan keagamaan, termasuk PAUD di wilayah perkotaan. Meski tidak mengungkap kapan penelitian tersebut dilakukan, Salman menyebutkan hasilnya, yaitu ditemukannya ajaran keagamaan yang mengarah pada tindakan radikal.

Ini jelas sangat berbahaya, karena radikalisme yang diterima anak-anak pada tingkatan sebelum SD ini akan menggiring daya pikir menjadi radikal.Sebab, Juri Ardiantoro menilai baik narkoba, dan paham anti kebangsaan Indonesia telah berkembang sangat signifikan.

Kita tidak ingin generasi Indonesia yang akan datang adalah generasi yang tidak memiliki kepasitas mumpuni untuk menyiapkan diri menghadapi berbagai perubahan yang cepat dan gagap dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang indah ini.

Perlu mengamini bahwa nomentum peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei tahun ini, IKA UNJ yang menaungi sebagain besar alumni yang berkiprah di dunia pendidikan (guru) mendorong kesadaran publik akan ancaman-ancaman pendidikan sekaligus mendesak pihak-pihak yang memiliki tugas dan kewenangan untuk bersama-sama mengambil inisiatif, kebijakan dan tindakan nyata untuk mengatasi ancaman tersebut yang akan menganggu dan merusak tujuan pencapaian pendidikan.(*)

Penulis: Redaktur senior di Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *