Jakarta–Detakpos-Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mencatat mekanisme demokrasi ini telah menghasilkan dua ekses yang merusak demokrasi yaitu politik uang dan SARA.
Demikian Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, dalam Musabahah 2017, dan Resolosi 2018 di kantor Jln Kranat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (20/1).
Menurut Kiai Said, keduanya adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI. ”Jika politik uang merusak legitimasi, politik SARA merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak kenyanyaman kebangsaan yang telah susah payah dirajut oleh para pendiri bangsa,”ujar kiai Said.
Dikatakan, pergelaran Pilkada DKI 2017 masih menyisakan noktah hitam bahwa perebutan kekuasaan politik dapat menghalalkan segala cara yang merusak demokrasi dan menggerogoti pilar-pilar NKRI. Pengalaman ini harus menjadi bahan refleksi untuk mawas diri.
”Demokrasi harus difilter dari ekses-ekses negatif melalui literasi sosial dan penegakan hukum,”tutur dia. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan demokrasi yang sehat tanpa politik uang dan sentimen primordial.
Ditegaskan, aparat penegak hukum harus kredibel dan andal dalam penegakan hukum terkait kejahatan politik uang dan penggunaan sentimen SARA.’Ini penting, menurut dia, karena pada tahun 2018 dan 2019, Indonesia akan memasuki tahun-tahun politik. Tahun 2018 akan digelar Pilkada serentak di 171 daerah. Tahun 2019 akan digelar hajatan akbar yaitu Pilpres dan Pileg serentak.
”Bercermin dari kasus Pilkada DKI, kontestasi politik dapat mengganggu kohesi sosial akibat penggunaan sentimen SARA, penyebaran hoax, fitnah, dan ujaran kebencian (hate speech),”ujar dia.
Dan ini semakin parah karena massifnya penggunaan internet dan media sosial. ‘”PBNU perlu menghimbau warganet agar bijak dan arif menggunakan teknologi internet sebagai sarana menyebarkan pesan-pesan kebaikan dan perdamaian, bukan fasilitas untuk menjalankan kejahatan dan merancang permusuhan.
‘”PBNU mengakui dan menegaskan demokrasi adalah pilihan terbaik sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang majemuk. Mekanisme dan kelembagaan demokrasi telah berjalan dan sampai ke titik yang tak bisa mundur lagi.
Presiden dan Wakil Presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat, begitu juga Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, dan Walikota-Wakil Walikota. Tidak ada lagi wakil rakyat, baik DPR maupun DPD, yang duduk di parlemen dengan cara diangkat. Semuanya dipilih langsung oleh rakyat.
‘Representasi rakyat ini pula yang kelak meloloskan jabatan-jabatan publik lain, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun yudikatif.”(d2)