RMI PBNU: New Normal di Pesantren dengan Syarat

Jakarta-Detakpos-Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) atau Asosiasi Pesantren Indonesia menyatakan bahwa pelaksanaan new normal di pesantrent tidak dapat dilakukan jika tidak ada dukungan pemerintah untuk tiga.

Pertama, kebijakan pemerintah yang kongkrit dan berpihak sebagai wujud
keseriusan pemerintah dalam menjaga pesantren dari risiko penyebaran virus covid 19.

Kedua, dukungan fasilitas kesehatan untuk pemenuhan pelaksanaan protokol kesehatan, seperti rapid test, hand sanitizer, akses pengobatan dan tenaga ahli kesehatan.

Ketiga, dukungan sarana dan fasilitas pendidikan meliputi fasilitas pembelajaran online bagi santri yang belum bisa kembali ke pesantren dan biaya pendidikan ( Syahriyah/SPP dan Kitab ) bagi santri yang terdampak secara ekonomi.

Apabila tidak ada kebijakan nyata untuk tiga hal tersebut maka RMI-PBNU menyarankan pesantren memperpanjang masa belajar di rumah.
RMI-PBNU juga menghimbau agar setiap keputusan yang diambil terkait
dengan nasib pesantren harus melibatkan kalangan pesantren.

Demikian pernyataan sikap Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah
Nahdlatul Ulama yang disampaikan oleh Ketua H. Abdul Ghofarozzin dan Sekretaris Habib Sholeh di Jakarta, Jumat (29/5).

Abdul Ghofarozzin menyatakan, jumlah dan pertumbuhan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 masih tinggi dan mengkhawatirkan.
Persebarannya juga makin meluas.

Sementara prasyarat untuk mencegah penularan Covid-19, terutama jaga jarak (social/physical distancing), semakin sulit diwujudkan.

Keadaan demikian, lanjut Abdul Ghofarozzin, membuat pemerintah tetap waspada dan memastikan aturan seperti PSBB dapat berjalan secara efektif.

Namun, menurut dia,
justru yang dirasakan adalah pelonggaran terhadap PSBB dan pemerintah
akan segera melaksanakan New Normal (Kelaziman Baru). Hal ini sangat beresiko bagi makin luas dan besarnya persebaran Covid-19 termasuk dalam lembaga Pendidikan.

Terhadap Pesantren, kata Abdul Ghofarozzin, belum memiliki perhatian dan kebijakan
khusus untuk menangani Covid-19.
“Namun, tiba-tiba pemerintah
mendorong agar terlaksana New Normal dalam kehidupan pesantren,”tutur Abdul Ghofarozzin.

Hal demikian tentu saja mengkhawatirkan. “Alih-alih untuk menyelematkan
pesantren dari Covid-19, pesantren yang berbasis komunitas dan cenderung komunal justru dapat menjadi klaster baru pandemi Covid-19. Sesuatu yang sepatutnya dihindari,”kataAbdul Ghofarozzin.(d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *