UNS Teliti Tanaman Padi Terapung Bojonegoro

BojonegoroDetakpos – Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, meneliti padi terapung di Dusun Balongdowo, Desa Karangdayu, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Sabtu (30/9).

Dosen program studi ilmu tanah Fakultas pertanian UNS Solo, Jawa Tengah, Mujiyo, mengatakan praktek model tanam dengan sistem terapung itu karena wilah setempat di bantaran Bengawan Solo yang selalu menjadi langganan banjir di musim hujan.

“Jadi dengan model tanam padi apung ini masyarakat tetap bisa bertanam dan panen, karena padi tidak akan tenggelam,” katanya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan bersama sejumlah dosen UNS, kata dia, hasil panen tanaman padi terapung di desa setempat dengan benih lokal hasilnya sama dengan tanaman padi yang ditanam secara konvensional.

“Ini praktek yang pertama kalinya dari kami di daerah Bojonegoro, bahkan di seluruh wilayah Indonesia hanya ada di daerah Lampung dan Jawa Barat padi apung. Harapannya di wilayah Bojonegoro ini bisa diterapkan tapi tidak langsung tahun ini,” kata dia menjelaskan.

Ia mengatakan, masyarakat umum khususnya yang berada di pinggir Sungai Bengawan Solo bisa menanam padi apung di lahan produktif miliknya. Artinya lokasinya tidak melulu di kolam ikan ataupun rawa. Namun demikian, sistem tanam apung harus pada bulan-bulan yang memang rawan terjadi bencana banjir.

“Misalnya banjir terjadi antara bulan November sampai Maret berarti di bulan itulah waktu melakukan tanam model apung. Kebanyakan di bulan tersebut masyarakat juga tanam, tapi belum sampai panen sudah tenggelam. Nah, dengan sistem ini padi tidak akan tenggelam karena akan terus naik mengikuti ketinggian air,” jelasnya.

Ia mengakui, jika tanam model apung itu biayanya lebih mahal dibandingkan tanam konvensional. Namun hanya diawal-awal saja, selanjutnya tidak perlu membeli bahan-bahan lagi. Bahan yang diperlukan untuk membuat media apung antara lain drem atau kaleng bekas, plastik terpal dan kayu bambu.

“Setelah media apungnya jadi kemudian isi tanah dengan ketinggian 20 centimeter. Setelah itu bisa ditanami,” bebernya.

Seprang engurus HIPPA Desa Karangdayu, Kecamatan Baureno, Supari mengaku tertarik dan akan mencobanya. Sebab, di daerahnya juga banyak kolam ikan yang tidak maksimal hasilnya saat ditanami ikan.

“Bahkan lahan produktifpun kami tertarik menggunakan sistem apung, karena kami sadar saat musim hujan wilayah kami selalu kebanjiran,” ucapnya saat mengikuti proses panen padi apung di desanya. (*/detakpos)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *