Fatwa Risywah Munas NU Pun ”Nyaris Tak Terdengar Suaranya” (Bagian 2 Habis)

Opini : Oleh H AAdib Hambali

PERSOALAN korupsi dan ”politik biaya tinggi” menjadi  persoalan sistemik yang pelik. Salah satu penyebab, sebagian masyarakat terlanjur tidak mempercayai wakil-wakil di legislatif dan eksekutif.

Mereka dituding bukan lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi mencari kekayaan melalui jabatan itu. Setiap mereka menemui konstituen maka pertanyaan ”wani piro” itu yang muncul.

Pertanyaan itu selalu terucap ketika warga, termasuk sebagian tokoh masyarakat diminta memilih dan restu untuk maju di pilpres, pilgub dan pilbup.Konsekwensinya, calon dituntut mempunyai modal besar untuk mendapat dukungan dan ”memperlicin” restu agar memperoleh kemenangan dalam kontestasi.

Jadi,  beban politik biaya tinggi itu pun disebabkan oleh masyarakat, tokoh, tak terkecuali tokoh agama yang berlaku pragmatis.

Berangkat dari keprihatinan tarik -menarik yang melibatkan warga NU dan umat Islam dalam masalah risywah itu maka NU perlu membahas hukum risywah untuk difatwakan.

Munas Alim Ulama NU di Cirebon 2012, melihat bahwa Pilpres, Pilkada dan Pileg, bahkan pemilihan ketua NU, telah menjadi kesempatan kader, tokoh masyarakat dan orang yang mempunyai hak pilih mencari keuntungan mendapatkan uang dengan cara risywah.

Dalam deskripsi pengantar keputusan Munas dan Kombes NU di Cirebon, Jawa Barat, menguraikan, bahwa mereka yang nenerima risywah berdalih shadaqah, hibah atau hadiah. Bagi yang tidak menerima itu menyebut risywah (suap).

Dari pihak calon berdalih pemberian atau harta yang dibagi-bagikan diniatkan zakat, sedekah, ongkos kerja dan sejenisnya.

Menjawab beberapa pertanyaan itu Munas Alim Ulama  melahirkan keputusan bahwa: Tidak sah, batal dan termasuk risywah (suap), dengan dalih dan niat pemberian zakat atau shadaqah yang dimaksudkan agar penerima milih calon tertentu.

Berikutnya, termasuk kategori risywah pemberian atas nama transport, ongkos kerja, kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu.

Selanjutnya penerima risywah haram memilih calon tertentu yang dimaksudkan dari risywah sebagaimana haram mereka menerima risywah. Pemberian secara diam-diam agar penerima memilih calon tertentu hukumnya haram.

Demikian juga haram bagi penerima risywah yang memahami maksud pemberi tersebut. Di halaman 90 dan seterusnya buku Munas dan Kombes NU yang dilaksanakan PBNU di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon 2012, dicantumkan referensi dalil- dalil rujukan dari Alquran, Hadist dan fatwa ulama yang menjadi dasar putusan tersebut.

Yang menjadi pertanyaan sejauh mana efektivitas keputusan Munas NU itu ditaati oleh warga NU, masyarakat dan tokoh agama. Perlu ada survei terkait hal itu. Namun pengamatan sementara, mudah-mudahan saya tidak benar, bahwa praktik ”wani piro” ketika ada tokoh atau calon yang meminta dukungan dan restu diprediksi semakin marak disuarakan.

Artinya fatwa Munas NU soal risywah atau suap  itu belum sepenuhnya ditaati, atau bahkan malah ‘nyaris tidak terdengar suaranya’  di tengah hiruk-pikuk kesibukan kandidat menggalang dukungan dengan dalil pembenar, bahwa pemberian itu halal.

Dalam kondisi seperti ini partai harus fokus bagaimana bekerja untuk rakyat untuk mengembalikan kepercayaan itu. Bukan malah memupuk kekayaan. Karena pada hakikatnya partai politik dalam sistem politik demokrasi adalah untuk menjalankan aspirasi rakyat.(*)

Penulis: H A Adib Hambali, salah satu  Pendiri PMII Bojonegoro dan Wakil Rois Syuriah MWCNU Dander

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *