Head to Head Pasangan ”Birokrat” Mulyoatine dengan Basudewo

Opini oleh : H AAdib Hambali*

PESTA demokrasi Pilkada Bojonegoro, Jawa Timur 2018, diikuti empat pasang calon bupati dan wakil bupati. Kempat pasangan telah mendapat nomor peserta dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Selasa (13/2).

Soehadi Moelyono-Mitro’atin (1), Mahfudhoh Suyoto-Kuswiyanto(2), Anna Mua’wanah-Wawan (3), dan Basuki-Pudji Dewanto (4).

Dua calon ”Srikandi” yaitu Mahfudhoh dan Anna Mua’wanah secara head to head telah dibahas .Kini yang menarik dicermati ada pasangan Moelyoatine dengan Badudewo.

Keduanya memiliki segmen utama pemilih yang hampir sama yaitu kalangan birokrasi dan warga Nahdliyyin. Segmen pemilih yang lain juga menjadi garapan mereka bersama mesin partai pengusung, namun diperkirakan melalui dua kelompok pemilih utama itu selain dari pemilih nasionalis.

Soehadi dalam orasi politik saat pendaftaran di KPU Bojonegoro belum lama ini megaskan, dirinya bersama Mitro’atin maju di pilbup ini untuk menang, bukan menjadi ”boneka.”

Memang, Basuki berangkat dalan perjalanan pencalonan ini tidak linier. Pertama dia diusung PAN dengan posisi calon wakil dari cabup Kuswiyanto.Belakangan berubah, karena elektabilitas Kuswiyanto rendah, maka PAN Bojonegoro mendeklarasikan Basuki sebagai cabup.

Perubahan sangat cepat, di saat-saat terakhir deklarasi muncul nama Mahfudhoh Suyoto yang diusung PAN bersama NasDem dan Hanura. Dalam waktu bersamaan, Basuki tetap menjadi cabup bersama wakil cabup Pudji Dewanto diusung oleh PPP dan Gerindra.

Sama seperti Soehadi Moelyono, Basuki sejak awal menyatakan siap untuk maju mencalonkan bupati dan optimitis bakal menempati kursi Bojobegoro 1. Itulah tekat dia.

Pernyataan dua calon ini untuk menepis anggapan publik, bahwa kedua pasangan itu benar-benar serius dan ingini bertarung di Pilkada 2018, bukan ”jadi-jadian” alias ”boneka” untuk menenangkan calon lain.

Di pasangan Mulyoatine (Soehadi-Mitro’atin), yang diusung Demokrat-Golkar, pemilih yang dibidik adalah birokrasi yaitu pemilh Aparatur Sipil Negari (ASN). Sekwilda Bojonegoro ini adalah pejabat karier yang meniti dari bawah, sehingga lebih banyak dikenal oleh pemilih di segmen ini.

Mitro’atin adalah ketua DPD Golkar Bojonegoro, sehingga mesin politik diprediksi cukup kuat dan efektif untuk mendulang suara. Selain itu Mitro’atin juga didukung oleh sebagian pemilih dari Nahdliyyin, setidaknya dari NU kultural seperti Muslimat NU dan Fatayat karena dia aktivis organisasi terbesar di Tanah Air itu.

Sementara pasangan Basuki-Pudji Dewanto (Basudewa) selain dikenal di lingkungan birokrasi, juga akan membidik suara Nahdliyyin. Dari tiga calon yang disebut-sebut dari NU, yaitu Anna Mua’wanah, Mitro’atin, hanya Basuki yang masih berada di NU struktural sebagai wakil ketua Tanfidziyah PCNU Bojonegoro.

Yang tidak kalah besar dukungan kepada Basuki adalah dari NU kultural, utamanya para kiai dan gus, habaib yang tergabung dalam komunitas gus yang bertpusat di kawasan pesantren terkenal di Bojonegoro.

Rata-rata para gus dan kiai di komunitas ini banyak malang melintang di pelosok, karena memiliki jamaah pengajian rutin yang jumlahnya mencapai ratusan tempat, sehingga cukup memiliki pengaruh. Selain itu mereka pimpinan pesantren besar di Bojonegoro yang memiliki jaringan alumni hingga ke pelosok daerah.

Dengan kondisi seperti ini, pemilih warga NU diperkirakan akan terbelah menjadi empat kelompok. Diprediksi ada yang memilih Mulyo-Atine, Basudewa, Anna-Wawan dan bahkan Mahfudhoh-Kuswiyanto.

Pasangan Mahfudhoh-Kuswiyanto masih dimungkinkan dapat menarik suara NU. Setidaknya dari jajaran pengurus tanfidziyah PCNU Bojonegoro saat ini di didominasi sejumlah nama birokrat dan pejabat aktif, dan ASN yang mengenal dan mungkin dekat dengan Mahfudhoh, istri Bupati Suyoto.

Penyebaran Nahdliyyin tidak perlu dilihat secara negatif seperti terpecah-pecah alias tidak kompak dan stigma tidak baik lain.Itu posotif, setidaknya bagi ”Rezim Khittah” melihat warga NU tetap tidak ke mana-mana, tapi berada di mana-mana.

Memang sejumlah pengurus NU struktural menggiring Nahdliyyin  ke salah satu pasangan dengan dalih hasil Muktamar NU Lirboyo Kediri.

Benar, Muktamar Lirboyo  menyatakan salah satu partai itu lahir difasilitasi NU. Namun ada klausul lanjutan, Muktamar Lirboyo menyebutkan bahwa hubungan NU dengan partai tersebut sebatas historis, bukan struktural.

NU tetap tidak terikat secara struktural dengan partai politik dan ormas mana pun sesuai garis perjuangan atau Khittah NU 26.

PWNU Jatim memberi contoh yang perlu diteladani. Meski mendukung salah satu calon gubernur di Pilkada Jatim, namun dukungan itu disampaikan secara pribadi masing-masing, tidak pernah membawa nama NU secara kelembagaan.Wallohu A’lam.(*)

*Penulis: Redaktur senior dan pemerhati politik di Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *