ISRI: Revisi UU KPK Hanya Kejar Tayang

JakartaDetakpos-Undang Undang (UU) KPK Perlu diterima seluruh komponen dan mencerminkan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang holistik

Sekjen Dewan Pengurus Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) Cahyo Gani Saputro menjelaskan hal itu
menanggapi polemik UU KPK akhir akhir ini.

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR pada hari selasa, 17 September 2019.

Apabila dalam jangka waktu 30 hari tidak disahkan Presiden, otomatis UU tersebut berlaku dan diberi nomor, sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, aturan itu menyebutkan.

“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

Dikatakan, revisi UU KPK menjadi polemik di publik karena RUU Inisiatif DPR  dilakukan pembahasan yang kejar tayang bisa disebut singkat dan disahkan dalam waktu 11 hari saja.

Selain itu UU KPK, lanjut Cahyo,  tidak termuat dalam prolegnas 2019, justru UU Penyadapan yang termuat dalam Prolegnas tidak urung diselesaikan, padahal itu kedua UU tersebut sangat terkait. Namun Revisi UU KPK yang disetujui DPR dan Pemerintah.

Adapun beberapa isu krusial dalam revisi UU tersebut adalah tentang kelembagaan dan status kepegawaian.

Kedua penyadapan dan dewan pengawas, ketiga pimpinan KPK tidak lagi sebagai penyidik-penuntut umum, keempat kewenangan SP3 dan secara lengkapnya menurut KPK ada 26 persoalan yang beresiko melemahkan.

Aksi mahasiswa dan pelajar yang beberapa hari ini gencar terkait Revisi UU KPK dan lain lain akhirnya Jokowi mempertimbangkan  mengeluarkan Perppu.

Sekjen menjelaskan, Perppu  mempertimbangkan sebagaimana Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa

“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Dan juga Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Yang kemudian Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, memuat tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu:
adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
Juga Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan

Menururntya, Perppu dapat disebut juga eksekutif review, yang juga mempunyai batasan yang sebagaimana Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011, dalam arti Perppu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.

“Apabila PERPU itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan, apabila PERPU itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut,”tambah dia.

Dalam persoalan ini munculnya Revisi UU KPK yang telah di setujui oleh Pemerintah dan DPR, sehingga untuk itu apabila dikeluarkan Perppu tentunya harus merupakan penyempurnaan dari hal-hal yang dianggap kontroversial.

Misal soal kelembagaan pemerintah dapat meminta fatwa atau petunjuk dan/atau masukan dari Mahkamah Konstitusi, masukan – masukan dari Komisioner dan Mantan Komisioner KPK, kelompok kritis (Pegiat anti korupsi, praktisi hukum, pelajar – mahasiswa), penegak hukum serta civitas akademika dan Komisi Hukum DPR RI.

Selain eksekutif review, menurut Cahyo, sebenarnya ada upaya lain yang lebih mempunyai tahapan panjang yaitu legislatif review yang mana revisi UU KPK yang telah di undangkan, dilakukan revisi kembali dengan dimasukan pada Prolegnas Prioritas Tahun 2019 Masa Sidang Anggota DPR Periode 2019-2024 .

Tentu, menurut Cahyo, dengan benar-benar ada sosialisasi dan partisipasi publik yang kuat sehingga  UU yang akan disahkan tidak lagi menjadi perdebatan publik dan diterima semua pihak dalam rangka penguatan pemberantasan korupsi.

Sedangkan yudicial review di MK lebih pada penguatan UU apabila permohonan ditolak, dan kembali pada UU sebelumnya bila permohonan diterima atau menyatakan ayat, pasal tidak mengikat bila diterima sebagian.(d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *