Ketika Duet Jokowi-Prabowo 2019 Digulirkan

Analisis oleh: H AAdib Hambali


TIDAK ada kawan maupun lawan abadi dalam politik. Yang ada kepentingan abadi.” Mungkin pepatah ini ada baiknya untuk disimak.

Joko Widodo dan Prabowo Subianto merupakan rival politik di Pilpres 2014. Namun menjelang Pilpres 2019, skenario duet Jokowi dan Prabowo digulirkan.

Adalah survei Poltracking Indonesia mensimulasikan skenario koalisi ini lewat survei yang dirilis di Hotel Sari Pan Pacific, Jl MH Thamrin, Minggu (18/2), dengan tema ‘Proyeksi Skenario Peta Koalisi Pilpres 2019’.

Ada simulasi koalisi poros duet Jokowi-Prabowo versus koalisi poros SBY. Koalisi poros Jokowi-Prabowo berisi PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PPP, Partai NasDem, dan Partai Hanura, total kursi 73,40% (411).

Koalisi poros SBY berisi Partai Demokrat, PAN, dan PKS, total kursi 26,60% (149).Simulasi model pertama, Jokowi jadi capres dan Prabowo cawapres. melawan capres Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan cawapres Gatot Nurmantyo. Hasilnya Jokowi-Prabowo meraup 50,3% dibanding AHY-Gatot yang meraup 11,6% suara 1.200 responden.

Yang tidak tahu dan tidak menjawab ada 38,1%.Model kedua, Jokowi-Prabowo versus Gatot-AHY. Tetap Jokowi-Prabowo menang 50,6% melawan Gatot-AHY yang meraih 12,6%.

Politisi PDIP Maruarar Sirait, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, politisi Partai Golkar yang juga Ketua DPR Bambang Soesatyo, dan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo hadir di scara itu.

Maruar Sirait menilai Jokowi dan Prabowo bergabung menjadi satu, maka akan menjadi baik untuk politik Indonesia. Akan efektif dan efisien. Kalau mereka menjadi rival, itu bukan untuk kali pertama.Tinggal mereka bertarung berdua atau bersatu berdua.

Bambang Soesatyo pun mengamini. Pertarungan politik yang tajam perlu dihindari. Apalagi hanya ada dua kekuatan menonjol, yakni Jokowi dan Prabowo. Kalau dua kekuatan ini digabungkan, masalah bangsa ini selesai. Pemilu tanpa gaduh, langsung bisa recovery perbaikan ekonomi dan program-program pemerintah.

Bersatunya Jokowi dan Prabowo bisa bermanfaat bagi negara. Ini bisa mengobati persaingan sengit KIH vs KMP yang masih berbekas. Pasangan capres-cawapres yang paling ideal setelah Jokowi-JK, adalah Jokowi-Prabowo.(dtc,18/2/2018).

Kalau mau menyelamatkan bangsa ini, bergabunglah dengan kekuatan besar ini, kekuatan baik yang ada di belakang Prabwo maupun Jokowi, sehingga smooth alias adem.

Direktur Poltracking Indonesia Hanta Yuda AR mengatakan tak ada yang mustahil dalam politik, termasuk bergabungnya Jokowi dengan Prabowo. Dia melihat ada peluang terwujud.

Meski begitu, poros koalisi Prabowo tak harus Prabowo sendiri yang maju ke Pilpres, meski bisa saja Prabowo sendiri yang maju.Jokowi plus Prabowo harus ada lawannya. Lawannya dari Partai Demokrat. Harus ada tiga partai dalam koalisi Demokrat. Kalau semua partai ke Jokowi, maka calon tunggal.

Masih Sulit

Bagi yang tidak setuju wacana ini menyebutkan, itu kegagalan konsep. Pemasangan duet Jokowi-Prabowo melawan make sence Jokowi berduet dengan Prabowo masih sukar diterima akal.

Benar, paradigma minor Harold D Lasswell, pada dasarnya keputusan politik itu absurd, tidak disengaja, sehingga faktor statik bisa diubah menjadi dinamik. Pertama, Prabowo mencabut dukungan kepada Demis karena mengajukan usulan agar Prabowo menjadi cawapres Jokowi. Demis pun diganti Sudradjat.

Kedua, perjanjian Pasir Putih, di mana PDIP akan menjadikan Prabowo capres setelah memenangkan pasasangan Pilkada Jokowi-Ahok, tidak  berlaku. Jokowi maju jadi capres.

Ketiga, ada buku “Paradox Indonesia” yang ditulis Prabowo 2017, seluruhnya pikiran diametral dengan Jokowi, mustahil dikawinkan. Dalam tiori Das Kapital II, mempertemukan keduanya tidak mungkin terjadi. Tapi mereka memang bisa berkuda bersama, ketika Jokowi sowan ke Prabowo.

Sejumlah tokoh menyatakan, setidaknnya Indonesia saat ini disebut-sebut menghadapi sutuasi genting. Politik identitas dan struktural berlangsung dengan kekerasan sejak Pilkada DKI, mungkin Pilkada 2018, akan lebih dahsyat pada Pilpres 2019.

Teror upaya pembunuhan para kiai, penyerangan tempat ibadah beberapa agama, penangkapan kandidat pilkada saat ini sedang terjadi. Penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi struktur politik dan kekuasaan lokal juga massif terjadi.

Sementara semua survei menunjukkan elektabikitas presiden incumbent tidak melebihi 50%. Partai pendukung Jokowi 2014, PDIP belum menunjukkan akan mendukung Jokowi kembali. Partai Golkar yang saat ini mendukung Jokowi adalah partai yang bisa membatalkan dukungan setiap saat dan bahkan belum pernah sukses menang mendukung capres dalam pilpres.

Ini artinya tingkat kepastian Jokowi rentan dibanding SBY saat menjelang 2009. Jadi, untuk kepentingan nasional ke depan yang lebih baik, tiori kepentingan itu tetap terbuka jika sama-sama demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.(*)

*Penulis:Redaktur senior dan pemerhati politik di Bojonegoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *