Ketua MPR: Pemerintah Perlu Rangkul Penolak Takdir Kebhinekaan

JakartaDetakpos-Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendorong pemerintah memrioritaskan upaya merangkul komunitas atau kelompok masyarakat yang menolak takdir kebhinekaan Indonesia.

Rumusan pendekatan kepada kelompok atau komunitas-komunitas tersebut perlu diperbarui.

“Untuk mendapatkan rumusan yang tepat, Pemerintah dan parlemen patut menjalin kerja sama dengan semua lembaga atau institusi keagamaan,”ungkap Bamsoet di Jakarta, Minggu (13/10).

Menurutnya, rongrongan terhadap kebhinekaan sudah demikian nyata, karena sejumlah komunitas terang-terangan menyatakan tidak lagi mencintai fakta keberagaman yang menjadi takdir bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam tahun-tahun terakhir ini, menurutnya, kelompok atau komunitas intoleran itu terlihat di mana-mana. Di sekolah, kampus perguruan tinggi, di banyak tempat kerja, dan di banyak institusi negara atau institusi pemerintah.

Pada saat yang sama, Bamsoet menyatakan, ada kekuatan lain yang menunggangi kecenderungan itu dengan mengerahkan pelaku teror.

“Kini, teror terhadap negara sudah menjadi ancaman nyata yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Inilah realitas masalah atau persoalan yang dihadapi Indonesia dewasa ini,”paparnya.

Negara memang sudah menyikapi kecenderungan ini dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Di luar BPIP, banyak tokoh masyarakat dan pemuka agama, termasuk pejabat pemerintah, tak henti-hentinya menyerukan perlunya menjaga kerukunan dan budaya toleran. Banyak kegiatan dialog lintas agama dan budaya sudah digelar.

Namun, kata Bamsoet, publik merasakan bahwa ragam program dan pendekatan untuk mereduksi perilaku intoleran itu belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Kecenderungan saling hina antar-kelompok atau antar-golongan bahkan makin tinggi intensitasnya.

Karena itu, lanjut dia, perlu dicari dan dijajaga rumusan program dan model pendekatan lain. Utamakan program dan pendekatan baru yang bertujuan menghilangkan saling curiga.

Selama ini, dirasakan ada kebuntuan karena keengganan berdialog. Belum lagi sikap saling curiga antara negara dengan komunitas-komunitas itu. Untuk tujuan ini, pemerintah dan parlemen perlu mengambil inisiatif.

Agar lebih komprehensif memahami akar permasalahan, pemerintah dan parlemen layak mendengarkan pandangan dan masukan dari lembaga-lembaga agama. Menjadi ideal jika rumusan program dan model pendekatan baru itu dilandasi kemauan baik saling merangkul dalam konteks sesama anak bangsa, untuk kemudian berdialog. ” Jika ada kontinuitas dialog, perilaku intoleran menjadi tidak relevan lagi,”pungkas Bamsoet.(d/2).

Editor : A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *