Kiai Diajak Kembali Ingat Sejarah Berdirinya NKRI

BantenMantan Rais Aam Syuriah PBNU K.H Ma’ruf Amin (KMA) mengajak para kiai untuk kembali mengingat sejarah tentang bangsa ini.

Hal itu disampaikan KMA dalam Silaturahmi Nahdliyyin Kabupaten dan Kota Serang, serta Kota Cilegon, di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara (Penata) Serang, Ahad (16/12).
“Kita harus belajar dari sejarah, bagaimana para pendahulu kita membangun kesepakatan, mitsaq. Berupa NKRI dan Pancasila. Nabi sendiri pernah melakukan mitsaq, kesepakatan untuk kedamaian Madinah,” paparnya.

Di Indonesia, menurut KMA, para ulama juga menjaga negara ini dengan luar biasa. Ketika Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus, beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Belanda dan Sekutu ingin merebut Indonesia.

Para Ulama yang dipimpin Rais Akbar mengeluarkan Resolusi Jihad yang melahirkan semangat Umat Islam untuk melawan penjajah Belanda.
“Ulama kita telah membangun kesepakatan tentang konsep dan dasar Negara ini. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila. Kita harus menaati dan menjaga kesepakatan itu. Jika dilihat dari isi Pancasila, apa negara ini islami, ya tentu
Indonesia ini negara kebangsaan yang bertauhid, karena ada Sila Ketuhanan yang Maha Esa,” tandasnya.

KMA juga mengingatkan para Nahdliyyin untuk tidak kagetan. Terbawa arus opini yang mendegradasi santri dan kiai. Seolah Santri dan kiai tak layak jadi pemimpin, tak layak jadi politisi dan memimpin birokrasi.

“Santri itu bisa jadi apa saja. Zaman dulu, Bupati dan Wedana itu kiai, di Serang ada kiai Sjam’un, kiai Abdul Halim Bupati Pandeglang.
Sekarang banyak juga santri dan kiai jadi Kepala Daerah. Jawa Barat dipimpin oleh kiai. Wakil Gubernurnya kiai. Jawa Tengah wakil Gubernur nya kiai, putranya Mbah Moen. Jawa Timur juga dipimpin Nyai Khofifah, dia itu santriwati. Gus Dur juga pernah jadi Presiden. Jadi kalau kiai dipilih jadi Wakil Presiden, bukan hal aneh,” ujarnya.
Karena itu, KMA pun mengajak masyarakat untuk membantah tudingan bahwa dipilihnya KMA sebagai cawapres oleh Presiden Joko Widodo hanya akan jadi alat.
“Masa saya jadi alat. Saya tentu paham politik. Sebab sejak muda saya sudah jadi anggota DPRD DKI, menjadi anggota DPR-MPR, menjadi Dewan Pertimbangan Presiden dua periode, menjadi Rais Amm PBNU, Ketua MUI, masa bisa diperalat. Saya menerima tawaran menjadi Wapres adalah untuk memperjuangkan kemaslahatan bangsa ini,” tandasnya.

Upaya pembelaan terhadap umat, kata KMA, dilakukan sejak lama dan banyak mendapat respons positif di era Presiden Jokowi.

“Saya pernah usul kepada Pak Jokowi, Ekonomi Islam itu sangat penting bagi ummat, sekaligus juga potensial untuk meningkatkan ekonomi nasional. Di antaranya adalah konsep bagi hasil, sangat
Kemudian Pak Jokowi setuju membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah. Saya usulkan juga agar Presiden langsung yang menjadi ketua Komitenya,” paparnya.

Dalam kesempatan lain, KMA juga meminta Pemerintah untuk perhatian kepada Pesantren, yang kemudian direspons menjadi RUU Pesantren.
“Saya bilang, Pak Jokowi, Pesantren-pesantren tradisional itu berdiri dan bergerak secara swadaya, mandiri. Sementara sekolah dan pesantren yang dibangun kelompok Wahabi, bantuannya berlimpah dari Saudi dan negara Wahabi lainnya. Maka saya usulkan agar pemerintah bisa membantu pesantren. Agar bisa berkembang juga. Karena butuh cantolan hukum dalam penggunaan APBN, maka diperlukan adanya UU Pesantren. Dan itu didengarkan oleh Pak Jokowi hingga lahirlah RUU Pesantren,” imbuhnya.

Karenanya, menurut KMA, sikap Presiden Jokowi yang responsif terhadap berbagai saran itu juga diakui oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra.
“Makanya Pak Yusril mengatakan,
Pak Jokowi lebih mau mendengarkan ummat. Tapi
Kenapa Jokowi selalu dibilang anti Islam.
Sampai-sampai dicaci-maki dihujat di pengajian dan khutbah-khutbah jumat,” imbuhnya.

Padahal, menurut Ulama, kita tak boleh menuding sesama muslim sebagai orang kafir. “Orang Islam dikafir-kafir.
Padahal dakwah, berkhutbah itu harus lemah lembut. Menegakkan Ammar Ma’ruf itu harus dilakukan secara santun,” tandasnya.

Kita melihat di negeri ini sedang berkembang pemahaman keagamaan yang membahayakan.
Maka jangan sampai Pilpres ini malah melahirkan pemimpin yang tidak selaras dengan Ahli Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) nanti bisa saja Aswaja hilang di Indonesia. Di Iran misalnya, di sana tempat berdakwahnya imam Ghazali, karena ganti penguasa, kemudian dimarginalkan Aswaja. Di Arab juga sama, di sana dulu tempat mengajinya para ulama Aswaja. Ketika Saudi berkuasa, ditetapkan Wahabi sebagai madzhab negara. Akhirnya Aswaja dikikis.
Kita harus mulai door to door, menemui kiai kampung, mendekati warga agar berjuang bersama untuk memenangkan Pilpres ini.

“212 itu awalnya adakah peristiwa untuk mengawal penegakan hukum, tapi sekarang dikapitalisasi.
Dijadikan kendaraan politik.”

“Padahal Gerakan Nasional Pengawal MUI sudah saya bubarkan, tiba-tiba muncul PA 212 yang arahnya ternyata untuk kepentingan politik,”tuturnya. (dib)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *