Mampukah Golkar dan Ulama Antar Mitroatin ke Lantai 7?

OPINI
Oleh: A Adib

PIMPINAN  Pondok Pesatren At-thoriqoh, Desa Sitiaji, Kecamatan Sukosewu, Gus Imam Sanusi NZ, beberapa waktu lalu mengirim pesan melalui WA, bahwa Lasykar Ulama Bojonegoro, komunitas para kiai, termasuk dirinya, telah mufakat untuk mendukung Ketua DPRD Bojonegoro, Mitroatin maju sebagai bakal calon bupati (cabup) pada Pilkada 2018.

Setelah menerima informasi itu, dia memberi kabar perkembangan secara bertahab juga melalui WA, bahwa dukungan kepada Mitroatin terus neningkat dan semakin solid.
 
Belum lagi mendapat jawaban dari Korbit I Pemenangan Pemilu Jawa- Sumatera DPP Golkar, Nusron Wahid, yang dikonfirmasi soal kemungkinan DPP Golkar akan merekonendasikan Mitroatin  diajukan oleh partai berlambang pohon beringin.

Tiba-tiba muncul pemberitahuan dari dia lagi,  bahwa KH Bardam, pengasuh Pondok Pesantren Almunawar, Desa Kunci, Kecamatan Dander, ketika Mitroatin dilantik oleh Ketua Umum DPP Golkar Setya Novanto belum lama ini,  juga mendoakan agar Ketua DPD Partai Golkar Bojonegoro itu bisa maju pada pilkada.

Doa ikut sertanya Mitro’atin yang akan digelar Juni 2018 itu disampaikan Kiai Bardam di hadapan rombongan pengurus DPP dan DPD Jawa Timur.

Sering Silaturahmi

Kenapa harus memilih dukungan komunitas Lasykar Ulama  Bojobegoro. Mereka umumnya adalah kiai di lingkungan NU, ada yang struktural dan kultural. Sebab, sejak kembali ke Khittah 26, secara organisatoris  NU tidak bisa terlibat dalam kegiatan politik praktis, para ulama bisa beraktivitas politik praktis dengan catatan tidak boleh membawa atribut NU.

Di Bojonegoro lahirlah komunitas kiai yang bebas dan berada di ranah politik praktis seperti saat pilkada maupun pileg dan pilpres.

Selain ada Lasykar Ulama Bojonegoro, para ulama atau kiai muda yang sering dipanggil ” Gus” atau putra-putra kiai, juga memiliki komunitas sendiri. Dengan kedua kelompok di lingkungan pesantren inilah Mitroatin sering menjalin komunikasi dan silaturahmi.

Maklum, mantan kepala desa itu dibesarkan  dari lingkungan orgsnisasi di PCNU Bojonegoro, setelah bergabung dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Berangkat dari organisasi itulah dia besar sebelum terjun di politik melalui Partai Golkar, hingga dia terpilih menjadi orang nomor satu di Golkar, dan Ketua DPRD Bojonegoro.

Dari sisi intensitas sosialisasi ke calon pemilih, sebagai pejabat jelas  cukup ruang dan kesempatanya. Apalagi didukung mesin poltik yang tergolong rapi karena memiliki jaringan kepengurusan  hingga ke desa-desa karena telah dibangun sejak orde baru.

Menjalin komunikasi dan pendekatan ini bisa dilakukan melalui jabatannya sebagai ketua DPRD maupun  ketua DPD Golkar. Di atas kertas Mitroatin lebih mudah dikenal warga karena  intensitas silaturahmi yang dibangun dan muaranya adalah dukungan masyarakat.

Hanya, dalam sistem pemilihan langsung tidak jarang parpol sebagai kendaraan politik terkadang juga kurang efektif- tidak selalu-. Banyak faktor yang memengaruhi sehingga besarnya parpol tidak lurus sebanding ketika menghadapi pilihan rakyat langsung.

Pengalaman sejak reformasi Golkar Bojonegoro belum pernah memenangi  pilbup langsung. Ini fakta, serapi apapun jaringan organisasi politik tidak menjamin calon yang diusung dipilih rakyat.

Karena itu Setya Novanto pun meminta jajaran partai Golkar benar memetakan kekuatan partai sebelum memutuskan untuk mencalonkan kader partai maju di  pilkada.

Dari pemetaan kekuatan itu perlu dicermati secara seksama, apakah mampu menjadikan kader yang diajukan  cabub atau yang memungkinkan hanya duduk di kursi cawabub saja.

Itulah arti pernyataan Setya Novanto yang mesti ditangkap oleh jajaran pengurus DPD Golkar Bojonegoro, sehingga dirinya belum menentukan siapa cabub yang ditetapkan dan bakal direkomendasikan. Pertanyaan dan tantangannya, mampukah Golkar dan Lasykar Ulama Bojonegoro mengantar Mitroatin menuju kursi di Lantai 7 Pemkab Bojonegoro.

(A.Adib adalah Wartawan Senior di Bojonegoro).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *