Menggali Karakter Kepemimpinan Khas Malangan

Oleh     : Cokro Wibowo Sumarsono (Pegiat budaya di Sanggar Glugu Tinatar, Landungsari-Malang)

 

Malang secara kultural terikat dalam sebuah subkultur tersendiri. Lembah subur yang terletak diantara deretan pegunungan ini merupakan hulu dari Kali Brantas, sungai terpanjang di Jawa Timur.

Peradaban Malang sudah berusia sangat tua, pada abad ke 7 Masehi masyarakat Malang sudah memiliki pranata sosial tersendiri. Artinya sejak jaman tersebut sudah lahir sistem kepemimpinan khas Malangan.

Pada masa tersebut, desa-desa di Malang disebut dengan istilah Wanua. Wanua dipimpin secara berkelompok oleh beberapa orang yang dituakan, disebut dengan istilah pararama (para bapak tetua adat). Artinya warga Malang sejak awal sudah mengenal sistem kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial. Beberapa Wanua bersatu membentuk sebuah tatanan pemerintahan bernama Watak. Beberapa Watak bersatu membentuk sistem pemerintahan bernama Kadatuan, yang kemudian berubah penyebutan menjadi Kedaton dan Keraton. Sistem pemerintahan berlapis dan bertingkat sudah dikenal sejak abad ke 7 Masehi. Artinya  para pemimpin sudah memiliki kesadaran untuk pendistribusian wewenang demi efektifitas kinerja kepemimpinan.

Adanya Candi Badut  yang masih bisa dilihat sampai hari ini menunjukkan bahwa warga Malang sejak dulu sangat menghargai tempat-tempat suci keagamaan meskipun berbeda dalam keyakinan. Badut merupakan candi tertua di Jawa Timur, simbol masa transisi arsitektur bangunan langgam Jawa Tengahan ke Jawa Timuran. Gajayana sang pemimpin legendaris dari Kanjuruhan adalah peletak dasar karakter kepemimpinan khas Malangan. Karakter kepemimpinan yang digembleng oleh terjalnya alam pegunungan dan derasnya arus Kali Brantas sebagai urat nadi utama Kerajaan.

Pada masa berikutnya sekitar abad ke 12 lahirlah pemimpin legendaris berikutnya. Ken Dedes, ibu dari semua raja diraja penguasa Jawa-Nusantara adalah putri terbaik bumi Malang tepatnya dari Panawijan (Polowijen). Semua raja Singhasari dan Majapahit merupakan anak cucu dari Ibu Suri Ken Dedes, baik dari jalur keturunan Tunggul Ametung maupun Ken Arok. Wanita panutan Wangsa Singhasari tersebut dianugerahi oleh Yang Maha Kuasa sebagai arddhanareswari (wanita luhur yang bisa menurunkan raja diraja Nusantara). Artinya kepemimpinan wanita sudah sangat dijunjung tinggi sejak dulu di bumi Malang. Bagi warga Malang, perempuan bukan cuma teman di dapur, sumur dan kasur saja. 

Perempuan merupakan istri, ibu bagi anak-anak dan kawan seiring seperjuangan. Sangat berbeda dengan mindset yang mengatakan bahwa wanita sekedar sebagai konco wingking saja. Figur seorang Ibu sangat dihormati oleh warga Malang, meskipun dalam kehidupan sehari-hari pemimpin rumah tangga itu adalah seorang Bapak. Artinya warga Malang adalah penganut sintesa antara patrilineal dengan matrilineal, sama-sama menghormati Bapak dan Ibu yang sering dilambangkan dalam munajat doa tetua adat dengan Bapa Angkasa Ibu Pertiwi.

Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari memiliki sifat kepemimpinan Bhairawa Anoraga. Maknanya tangguh perkasa secara fisik namun tetap lembut dalam olah spriritual. Selain itu Ken Arok juga seorang yang memiliki sikap bhumi sparsa mudra, melambangkan kepemimpinan yang selalu membumi, pro masyarakat kecil dan berjiwa sosial.

Pemimpin berikutnya adalah Anusapati, putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Seorang yang sangat memuliakan Ibundanya. Relief Garudeya pada Candi Kidal sebagai tempat pendharmaan Anusapati menggambarkan ketegasan sikap atas kemerdekaan dari perbudakan.

Pemimpin berikutnya adalah dwitunggal Ranggawuni (Wisnuwardhana) sebagai Raja dan Mahisa Campaka (Narasinghamurti) sebagai Ratu Anghabaya. Persatuan dua pemimpin keturunan Ken Dedes dari jalur Tunggul Ametung dan Ken Arok ini diibaratkan dengan istilah dua naga dalam satu liang, sangat menjaga kerukunan antara  Singhasari dan Kadiri.

Dwitunggal kepemimpinan Wisnuwardhana-Narasinghamurti membawa aura persatuan nasional antara banyak kelompok agama, trah, politik dan kesatuan militer. Perseteruan lama antar dua trah dapat disatukan oleh pemimpin yang memerintah Singhasari secara bersama-sama (loro-loroning atunggal). Artinya konsep kepemimpinan dwitunggal antara Presiden-Wakil Presiden, Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota telah menemukan legitimasi historisnya dalam kepemimpinan ala Singhasari pada era tersebut.

Pemimpin legendaris berikutnya adalah Kertanegara, maharaja pemberani peletak dasar persatuan nasional. Spirit Cakra Mandala Dwipantara merupakan doktrin persatuan nasional Nusantara di bawah panji Singhasari. Cakra Mandala Dwipantara merupakan sebuah doktrin untuk menyatukan seluruh wilayah kepulauan AsiaTenggara di bawah kepemimpinan Singhasari. Tujuannya guna menangkal ancaman serangan pasukan China Mongol Tartar yang sedang giat ekspansi memperluas wilayah jajahan. Artinya pemimpin Malang sejak dulu adalah sosok yang offensif serta berwawasan go international.

Arca amoghapasa merupakan bukti sejarah akan kuatnya lobi dan diplomasi para pemimpin Singhasari. Artinya pemimpin Malang harus mampu menjalin kerjasama dengan daerah-daerah lain guna kemakmuran warganya.

Keberanian Kertanegara melawan kekuasaan Mongol China Tartar merupakan karakter pemimpin khas Malangan yang tegas, berprinsip dan punya nyali. Seperti kita ketahui bahwa saat itu hanya Nusantara yang tidak bisa dijajah oleh pasukan besar Kubilai Khan. Dua pertiga dunia telah mereka kuasai mulai dari pesisir Pasifik sampai dengan pesisir Atlantik. Ketika masuk Nusantara, pasukan dari utara tersebut dipukul mundur oleh laskar rakyat Jawa-Madura di bawah kepemimpinan Raden Wijaya, penerus dinasti Singhasari.

Keempat putri Kertanegara merupakan istri dari Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Artinya seorang pemimpin harus mampu mempersiapkan calon pemimpin berikutnya demi tugas pengabdian kepada rakyat dan bumi leluhur. Kertanegara juga sosok pemimpin yang menghormati semua aliran agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang satria pinandita, yaitu pemimpin politik dan militer yang memahami konsepsi religiusitas sekaligus.(*)

 

Pegiat budaya di Sanggar Glugu Tinatar, Landungsari-Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *