Periodesasi Jabatan Presiden Tiga Kali dari Publik

JakartaDetakpos– Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan wacana perubahan masa kepemimpinan Presiden – Wakil Presiden dari dua periode menjadi tiga periode dengan masa jabatan 5 tahun/periode, atau wacana perpanjangan masa periodesasi kepemimpinan menjadi cukup satu periode dengan masa jabatan tujuh tahun, bukan bersumber dari kajian internal MPR. Melainkan disampaikan publik sebagai respons atas masifnya pemberitaan MPR yang akan melakukan amandeman UUD NRI 1945.

“MPR RI tak bisa membendung respons masyarakat yang memberikan banyak usulan terkait amandeman UUD NRI 1945. Waktu, persiapan, dan kajian juga masih sangat panjang. Biarkan wacana itu berkembang sebagai bagian dari dialektika bangsa. Jika ada perubahan masa kepemimpinan presiden – wakil presiden, baik dari periodesasi maupun masa jabatan, maupun berbagai perubahan lainnya dalam UUD NRI 1945, itu bukanlah untuk pemerintah saat ini. Melainkan untuk yang akan datang,” ujar Bamsoet usai memimpin rombongan MPR RI berkunjung ke DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Turut hadir para Wakil Ketua MPR RI, antara lain Jazilul Fawaid (F-PKB), Hidayat Nur Wahid (F-PKS), dan Arsul Sani (F-PPP). Sedangkan jajaran pimpinan DPP PKS yang hadir antar lain Presiden PKS Sohibul Iman, Sekretaris Jenderal Mustafa Kamal, Sekretaris Majelis Syuro Untung Wahono, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Suharna Surapranata, Ketua Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Almuzammil Yusuf, dan Ketua Fraksi PKS MPR RI Tifatul Sembiring.

Kandidat Ketua Umum Partai Golkar 2019-2024 ini menjelaskan, silaturahim kebangsaan yang dilakukan MPR kepada pengurus partai politik dilakukan selain untuk bertukar gagasan, juga sebagai langkah memperkuat kemitraan MPR dengan partai politik.

Sebelumnya, pimpinan MPR sudah berkunjung ke PDI Perjuangan, Gerindra, Nasdem, Demokrat, dan PAN.

“Diskusi yang sangat produktif dengan PKS menghasilkan banyak pemikiran segar dan menyegarkan. Antara lain usulan penegasan menjadikan MPR sebagai lembaga legislatif yang selalu mengedepankan musyawarah dibanding voting dalam setiap pengambilan keputusan. Sehingga perlu dilakukan amandemen guna merubah Pasal 2 Ayat 3 UUD NRI 1945. Usulan PKS untuk menghadirkan lembaga pemberantasan korupsi yang permanen melalui amandemen UUD NRI 1945, juga merupakan sebuah wacana menarik yang perlu disimak,” jelas Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan, saat ini setidaknya ada enam usulan pokok yang berkembang di masyarakat seputar amandeman UUD NRI 1945. Pertama, perubahan terbatas untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara. Kedua, kembali ke UUD 1945 yang asli, setelah itu baru kemudian melakukan perubahan melalui adendum.

“Ketiga, kembali ke UUD sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keempat, penyempurnaan UUD NRI 1945 hasil amandeman ke-4. Kelima, perubahan UUD NRI 1945 secara menyeluruh. Dan keenam, tidak perlu melakukan amandemen. Semua usulan tersebut akan dielaborasi lebih lanjut oleh MPR RI, khususnya melalui Badan Pengkajian dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI,” papar Bamsoet.

Terkait wacana amandemen UUD NRI 1945, PKS menegaskan keinginan amandemen UUD NRI Tahun 1945 harus didasarkan pada aspirasi dan kehendak rakyat Indonesia. Bukan didasarkan pada kepentingan elite atau kelompok tertentu saja.

“Wacana amandemen UUD juga harus melibatkan ahli-ahli di bidangnya dan benar-benar lahir dari kehendak dan keinginan rakyat. Oleh karena itu, PKS akan sangat mendengarkan dan mempertimbangkan aspirasi dan kehendak rakyat Indonesia dalam mendukung atau menolak amandemen UUD NRI Tahun 1945,” kata Presiden PKB Sohibul Iman.

Jika aspirasi dan kehendak rakyat menginginkan amandemen UUD NRI Tahun 1945, lanjut Sohibul, maka PKS memperjuangkan dua hal dan menolak dua hal. Dua hal yang diusulkan dan diperjuangkan dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 adalah PKS mendorong dibentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat permanen dalam konstitusi. Bukan lembaga ad hoc atau sementara yang selama ini menjadi perdebatan elit.

“Kedua,  PKS mendorong perubahan pasal 2 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 tentang MPR yang berbunyi ‘segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak’. “Menurut kami putusan dengan suara terbanyak ini harus diganti dengan musyawarah mufakat yang menjadi semangat nilai-nilai Pancasila. Jika tidak terpenuhi mufakat baru kemudian diputuskan dalam suara terbanyak,” jelas Sohibul.

Sedangkan dua hal yang ditolak PKS dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 adalah,  PKS menolak wacana perpanjangan kekuasaan presiden dan wakil presiden tiga periode. “PKS berkomitmen untuk menjaga semangat reformasi dan demokrasi dengan membatasi kekuasaan bukan memperbesar kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” terang Sohibul.

Kedua,  PKS menolak wacana pemilihan presiden dan wakil presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan tetap menginginkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia. “Pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR adalah langkah mundur demokrasi dan menghilangkan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya,” imbuh Sohibul. (d/2).

Editor: A Adib

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *