Pesan dari Lombok, Kawal Pasal LGBT dalam Revisi KUHP

Opini: Oleh H AAdib Hambali, Wakil Rois Syuriah MWC Dander

MENJELANG akhir tahun 2017, memasuki ”Tahun Politik 2018-2019”, konstalasi politik mulai memanas. Bahkan tidak jarang isu berbaur hoax yang muncul itu mengarah kampanye negatif.

Pihak-pihak yang mengusung kampanye hitam dengan berbau SARA pun menyasar kepentingan Pemilihan Umum 2019.

Karena gencarnya kampanye negatif itu, tidak sedikit yang terprovokasi oleh isu atau pernyataan yang menyesatkan karena keluar dari substansi.

Misalnya, tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), apalagi dikatakan melegalkan.

Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Desember 2017, MK menolak permohonan judicial review mengenai perluasan norma tentang zina, perkosaan dan hubungan sesama jenis.Padahal pengaturan tindakan asusila itu diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang merupakan warisan kolonial.

Juru bicara MK Fajar Laksono sampai mempublikasikan pernyataan untuk menindaklanjuti Putusan MK yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada Kamis (14/12/3017).

Putusan tersebut terkait permohonan perluasan delik kesusilaan yang diatur dalam Pasal 284, Pasal 285, Pasal 292 KUHP. Pemohon meminta MK memperjelas rumusan delik kesusilaan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut.

Terhadap permohonan tersebut seluruh hakim konstitusi mempunyai perhatian sama terhadap fenomena yang dipaparkan pemohon. Namun, lima hakim berpendapat bahwa substansi permohonan sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang meng­ubah secara mendasar.

Hal itu telah memasuki wilayah kewenanga pembentuk undang-undang (DPR dan presiden).Mahkamah, dalam putusan-putusan sebelumnya, di antaranya putusan Nomor 132/PUU-XIII/2015, menolak permohonan pemohon.

Pasalnya, bila dikabulkan akan merumuskan tindak pidana baru yang semula perbuatan itu bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana. Padahal itu bukan kewenangan MK.

Karena concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan pemohon, dalam putusan itu pun Mahkamah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk UU untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik kesusilaan.

Mantan Ketua MK Mahfud MD turut angkat bicara atas kesalahpahaman sebagian masyarakat atas putusan MK terkait dengan delik kesusilaan dalam KUHP. Bahwa MK bukan membolehkan zina dan LGBT, melainkan menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP.

Cara terbaik, masyarakat yang menginginkan pelarangan zina dan LGBT adalah mengawal rancangan undang-undang yang tengah dibahas di DPR tersebut.KUHP itu selain sudah usang juga tidak compatiable dengan perkembangan masyarakat, beberapa norma KUHP, bahkan tidak sesuai dengan landasan filosofis bangsa dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia.

Di antaranya adalah norma tentang perzinaan, pemerkosaan dan hubungan sesama jenis. Dengan mempertimbangkan hal seperti itulah maka Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Lombok, NTB, tanggal 23-25 November 2017, menjadikan Rancangan KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR salah satu pokok bahasan.

Di anatara pesan Munas Alim Ulama dan Konbes NU, Pemerintah dan DPR didesak segera merampungkan pembahasan Rancangan KUHP yang ada. Apalagi kehendak untuk mengubah KUHP sudah ada sejak akhir tahun 1960-an.

* H AAdib Hambali, Wakil Rais Syuriah MWC NU Dander.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *