Jakarta–Detakpos-Mahkamah Konstitusi (MK) adalah saluran konstitusional untuk penyelesaian sengketa pilpres.
Untuk itu, dalam kerangka konstitusi, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak menerima atau menolak putusan MK.
“Apa pun jenis putusan MK tersebut,” tulis
Ketua PBNU bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undanga Robikin Emhas dalam rulis pers yang diterima, Rabu, kemarin.
Mengapa? Karena putusan MK berlaku mengikat bukan hanya kepada para pihak yang bersengketa (inter parties), tapi juga mengikat kepada siapa pun dan berlaku umum (erga omnes).
Menurutnya, kepatuhan terhadap putusan pengadilan, dalam hal ini MK, tidak bisa ditawar dan mencerminkan bentuk ketertundukkan warga negara terhadap negara (obidience by Law).
Berdasar asas erga omnes itulah Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011 (UU MK) menyatakan bahwa putusan MK bersifat final and binding.
Final artinya, terhadap putusan MK tidak terdapat akses untuk melakukan upaya hukum dan sejak putusan diucapkan seketika itu berkekuatan hukum tetap.
“Sifat final putusan MK dimaksudkan agar keadilan konstitutif suatu putusan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh warga negara dan seketika itu juga memiliki kepastian hukum.”
Sedangkan binding (mengingat), artinya putusan MK berlaku mengikat bukan hanya terhadap para pihak yang bersengketa, tetapi juga warga negara keseluruhannya, termasuk seluruh institusi negara.
“Saya berharap seluruh warga negara Indonesia menyambut pembacaan putusan MK yang akan dilangsungkan hari ini (27/6) dengan menjaga kondisi dan situasi damai dan harmoni.”
“Mari kita ikuti proses pengucapan putusan MK melalui saluran media elektronik yang ada. Tidak perlu datang dan hadir di MK,”tambah dia.
Selain itu, dia mengajak, sebagai bangsa beragama, mari berdoa semoga seluruh majelis hakim MK diberi kekuatan iman agar memberi keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan fakta-fakta persidangan dan hukum yang berlaku, serta para pihak yang bersengketa dan segenap komponen masyarakat lainnya menerima putusan MK dengan lapang dada.(dib)